Liputan6.com, Kupang - Kepala Balai Taman Nasional Komodo (TNK) Sudiyono mengatakan, populasi satwa langka komodo (Varanus komodoensis) hingga tahun 2017 mencapai 3.012 ekor dan masih stabil dari ancaman kepunahan.
"Kencenderungan naik. Terutama yang ada di pulau kecil Gili Motang dan Nusa Kode yang dulunya populasinya sedikit, namun sekarang mengalami peningkatan," ucap Sudiyono saat dihubungi di Kupang, Kamis, 11 Januari 2018, dilansir Antara.
Menurut dia, populasi binatang purba yang hanya ada di Pulau Komodo serta pulau-pulau kecil lainnya yang masuk dalam Taman Nasional Komodo di Kabupaten Manggarai Barat itu masih stabil atau belum terancam punah.
Baca Juga
Advertisement
Sejauh ini, menurut Sudiyono, Balai TNK masih menginventarisasi atau mengolah data terkait jumlah populasi tersebut yang berada di sejumlah pulau, seperti Pulau Padar, Pulau Gili Motang, Pulau Nusa Kode, Pulau Komodo, dan Pulau Rinca.
"Namun, kemungkinan populasi mengalami kenaikan karena adanya peningkatan jumlah terutama di Pulau Gili Motang dan Pulau Nusa Kode yang dahulunya kurang," katanya.
Sudiyono menjelaskan, populasi komodo yang masih stabil itu artinya bisa mengalami penurunan akibat usia dewasa yang berada di ambang kematian maupun bertambah akibat perkembangbiakan komodo berusia produktif.
Kasta Komodo
Menurut Kepala Balai TNK, Sudiyono, keberlangsungan hidup satwa komodo berdasarkan kasta. Artinya yang berukuran besar atau dewasa menguasai yang komodo yang masih kecil.
Ada deretan komodo yang besar memiliki jumlah tertentu yang menguasai yang kecil. "Namun, ketika berada di ambang kematian, maka memberikan kesempatan bagi yang kecil untuk bertambah banyak," katanya.
Satwa komodo di TNK, menyatu dengan kehidupan liar dalam mendapatkan sumber makanannya, seperti mengonsumsi babi hutan, rusa, dan kuda. Sementara, komodo yang berukuran kecil mengonsumsi serangga, unggas, dan lainnya.
Dengan begitu, tidak ada pos anggaran yang disiapkan untuk pengadaan sumber bahan makanan bagi komodo itu sendiri. "Jadi sumber makan mereka mengatur sendiri dari alam, sehingga jumlah populasinya juga secara alamiah," ujarnya.
Bila ada gangguan tertentu, komodo bisa saja berkurang. "Namun, sejauh ini, kecenderungannya mengalami kenaikan," ucap Sudiyono.
Karena keberadaan populasi yang bergantung pada alam itulah, pihak otoritas terus berfokus melaksanakan manajemen kawasan. Terutama agar jumlah komodo tetap terjaga seperti menjaga populasi pakan, aspek keamanannya, dan pembenahan infrastruktur pendukung di kawasan, dan sebagainya.
Upaya ini untuk menjaga agar populasi komodo itu sendiri tetap terjaga stabil atau tidak punah. "Karena satwa ini merupakan salah satu keajaiban dunia dan menjadi daya tarik utama untuk destinasi wisata unggulan," Sudiyono memaparkan.
Advertisement
Didekati Wisatawan Kini Komodo Diam Saja, Tanda-Tanda Stres?
Jumlah wisatawan di Taman Nasional Komodo membeludak. Aktivitas meningkatnya kunjungan wisatawan itu dikhawatirkan berdampak pada kondisi mental satwa komodo (Varanus kommodoensis).
Kepala Balai Taman Nasional Komodo (BTNK) Sudiyono mengatakan, hingga saat ini belum ada indikasi stres dari satwa langka itu. Pihaknya akan meneliti tingkat sensitivitas komodo secara hormonal.
"Kami berencana meneliti tingkat sensitivitas komodo untuk mengetahui korelasinya dengan jumlah membeludaknya kunjungan wisatawan,” kata Sudiyono kepada Liputan6.com, Sabtu, 6 Januari 2018.
Ia mengatakan hal itu terkait keberadaan satwa komodo yang dikhawatirkan berbagai pihak, seperti wisatawan, pelaku usaha, maupun pemerintah daerah, bisa mengalami stres akibat membeludaknya arus kunjungan wisatawan ke destinasi itu.
Menurut Sudiyono, jika satwa komodo mengalami stres, muncul tanda-tanda fisik yang tampak, seperti menjadi agresif, gerakan yang tidak jelas, tidak mau makan, atau terus-menerus diam.
"Selama ini tanda-tanda yang kelihatan hanya komodo lebih sering diam. Ada perubahan perilaku, misalnya dulu ada orang mendekat maka komodo lari menjauh tapi sekarang tidak," katanya.
Saksikan video pilihan di bawah ini: