Liputan6.com, Jakarta - Masuknya tahun 2018 ini, sekaligus juga mengantarkan bahasa Indonesia menuju usia 90 tahun. Usia 90 tahun memang terlihat tua jika kita membandingkannya dengan usia manusia. Namun, jika membandingkannya dengan usia bahasa, 90 tahun merupakan usia yang muda.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana capaian perkembangan bahasa Indonesia dalam 90 tahun ini? Selain itu, pertanyaan yang juga tak kalah pentingnya, bagaimana hubungan bahasa Indonesia dengan bahasa-bahasa daerah dan vernakuler di Indonesia lainnya?
Baca Juga
Advertisement
Sejak status bahasa Indonesia dikukuhkan pada 1928 dalam Sumpah Pemuda (meskipun ada yang beranggapan bahwa kelahiran bahasa Indonesia adalah tahun 1926), yang kemudian diperkuat dengan pemberian status bahasa nasional dan bahasa negara pada 1945, posisi bahasa Indonesia semakin bertambah kokoh.
Akan tetapi, tidak dapat dimungkiri, semakin kuatnya posisi bahasa Indonesia memberikan dampak terhadap perkembangan bahasa daerah.
Dalam perkembangannya sekarang, kita sudah banyak melihat bagaimana bahasa Indonesia memperlakukan bahasa daerah sebagai bahasa sumber ketika memerlukan sebuah istilah yang baru.
Kosakata seperti “unggah” yang diserap dari bahasa Jawa sebagai padanan kata “upload” merupakan salah satu dari beberapa kasus ketika bahasa daerah berperan sebagai bahasa sumber dalam fenomena kontak bahasa.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana dengan situasi sebaliknya? Apa peran bahasa Indonesia bagi perkembangan bahasa daerah?
Kisah Bahasa Skouw di Papua
Tulisan ini mungkin belum bisa secara gamblang membicarakan jawaban atas pertanyaan tersebut sampai tuntas. Namun, dalam artikel kali ini saya ingin sedikit berbagi cerita dari penelitian singkat saya di sebuah daerah yang bernama Desa Skouw, di wilayah perbatasan Jayapura dan Papua Nugini.
Saya ingin sedikit menggambarkan bagaimana bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan juga lingua franca lokal di satu wilayah di Indonesia bagian timur berdampingan. Wilayah Skouw sendiri terbagi menjadi tiga, yaitu Skouw Mabo, Skouw Yambe, dan Skouw Sae.
Mark Donohue, seorang linguis asal Australia, sudah melakukan riset yang cukup dalam (dalam penelitian lapangannya mulai dari 1998 – 2003) dan menghasilkan “A Grammar of the Skou Language of New Guinea” yang sangat komprehensif. Lebih jauh lagi, bahasa Skouw ini hanya dituturkan oleh kurang dari 700 orang (mungkin sudah jauh berkurang ketika artikel ini dituliskan).
Menurut dia, bahasa Skouw merupakan bahasa yang terisolasi karena dua faktor, yaitu mereka adalah satu-satunya keluarga bahasa tersebut di seluruh wilayah Indonesia, keluarga bahasa mereka yang lain ada di wilayah Papua Nugini, seperti yang ada di Dusun Wutung, wilayah perbatasan Papua Nugini dan Indonesia.
Faktor yang kedua adalah bahasa mereka secara tipologis sangat berbeda jika dibandingkan dengan bahasa-bahasa tetangganya yang lain, seperti Elsang, Sentani, Tobati, dan Melayu/Indonesia. Bahasa Skouw juga dikenal unik karena bahasa ini memiliki nada.
Advertisement
Bahasa Skouw Menuju Punah?
Pada tahun 2015, LIPI membuat penelitian di wilayah Skouw dengan topik “Peranan Bahasa di Perbatasan”. Hasil penelitian ini dari sisi kebahasaan memperlihatkan individu yang menjadi anggota masyarakat tersebut memiliki kemampuan memilih kode (baca: bahasa) yang digunakan sebagai strategi komunikasi.
Survei sosiolinguistik memperlihatkan bahwa pada dasarnya ranah penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa lingua franca lokal (bahasa Melayu Papua) lebih luas dibandingkan dengan ranah penggunaan bahasa Skouw. Hal ini terjadi karena (1) intensitas kontak bahasa yang tinggi dengan bahasa-bahasa lainnya, (2) tingginya angka kawin campur di wilayah tersebut, dan (3) loyalitas bahasa yang kurang positif dari penduduk Skouw.
Posisi bahasa Indonesia bisa berperan sebagai vernacular (bahasa asli, dialek dari penduduk asli) sekaligus vehicular (alat komunikasi antarkelompok). Di sisi lain, bahasa Skouw, meskipun masih memiliki tempat di kalangan penuturnya, tidak dapat dimungkiri bahwa vitalitas bahasa tersebut berangsur-angsur mengalami degradasi. Hal ini terlihat dari mulai membesarnya kesenjangan penggunaan yang terjadi antara bahasa Indonesia dan bahasa Skouw.
Selain kedua bahasa tersebut, bahasa Tok Pisin juga mulai masuk ke dalam repertoar kebahasaan penduduk di sekitar orang Skouw, terutama mereka yang berkaitan langsung dengan aktivitas perdagangan di perbatasan Indonesia−PNG.
Bahasa Indonesia Vs Bahasa Daerah
Sementara itu, di sisi kebudayaan, persentuhan dengan berbagai nilai dan tradisi diakui masyarakatnya memengaruhi praktik tradisi mereka saat ini. Misalnya, banyak acara adat yang memang sudah tidak lagi dilakukan oleh orang Skouw, seperti tidak berfungsinya Tangfa dan Paa (keduanya berarti rumah adat) sebagai tempat berkumpul dan juga tempat untuk mendidik anak laki-laki yang sudah beranjak dewasa.
Kembali ke bahasa Indonesia yang terlihat semakin berkembang ini, sebagai sebuah bahasa pemersatu, sudah sepatutnya bahasa Indonesia menjadi semakin matang dan fleksibel. Bahasa Indonesia jangan lagi diperlakukan sebagai sesuatu yang sangat kaku. Bahasa kita ini dapat menjadi sebuah bahasa yang terbuka pada perubahan dan perkembangan, bahasa yang bisa merangkul bahasa daerah, bukan menindasnya.
*Nazaruddin, M. Hum adalah staf pengajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia dan kandidat doktor linguistik di Leiden University, Belanda.
Advertisement