KPPU: Rendahnya Kredibilitas Data Jadi Sebab Harga Beras Tinggi

Adapun data produksi beras saat ini dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Pertanian (Kementan).

oleh Achmad Dwi Afriyadi diperbarui 15 Jan 2018, 10:15 WIB
Pekerja memanggul karung Beras di pasar induk Cipinang, Jakarta, Selasa (27/12). Kecukupan kebutuhan tersebut diharapkan bisa menahan laju kenaikan harga barang pokok. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menilai tingginya harga beras karena pasokan yang tidak stabil. Ketidakstabilan pasokan ini disebabkan beberapa hal, salah satunya permasalahan data.

Adapun data produksi beras saat ini dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Pertanian (Kementan). 

"Rendahnya kredibilitas data produksi beras yang dipublikasikan oleh BPS dan Kementan," kata Ketua KPPU Syarkawi Rauf dalam keterangan yang diterima Liputan6.com, di Jakarta, Senin (15/1/2018).

Dia melanjutkan, tingginya harga juga dipengaruhi distribusi beras yang buruk karena terlalu panjang. Pada arus distribusi ini rawan aksi spekulasi.

Selain itu, Perum Bulog dinilai belum efektif meredam tingginya harga beras. "Peran Bulog yang belum optimal menopang pasokan beras nasional melalui operasi pasar beras," dia menambahkan.

Menurut Syarkawi, masih tingginya harga beras nasional dibanding negara tetangga ini pula yang mendorong pemerintah membuka keran impor beras.

Dia bilang, berdasarkan data FAO pada tahun 2017, harga beras Vietnam sekitar US$ 0,31 per kg atau setara dengan Rp 4.100 per kg (kurs rupiah per US dolar sebesar Rp 13.225), Thailand sekitar US$ 0,34 per kg atau setara dengan Rp 4.496 per kg. Sementara harga beras di dalam negeri sekitar US$ 0,79 per kg menurut FAO atau sekitar Rp 10.447 per kg.

"Tingginya disparitas harga beras internasional dibandingkan dengan harga beras di dalam negeri memberikan dorongan untuk melakukan impor," tukas dia.

Senada, pengamat pertanian dan juga Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor ( IPB) Dwi Andreas Santosa menyatakan, masalah harga beras naik seharusnya bisa diredam jika terdapat data yang jelas. Selama ini, harga beras sering naik karena data produksi dan konsumsi tak jelas.

"Jadi kebijakan pangan didasarkan pada data yang tidak akurat selama ini," jelas dia saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Minggu (14/1/2018).

Dampak dari data yang tak akurat ini kemudian merembet karena Kemendag harus impor. Dibukanya keran impor beras ini akan merugikan petani lokal. Sebab, beras yang diimpor tersebut diperkirakan baru akan masuk berbarengan dengan masa panen petani pada Maret 2018.

"Keputusan impor sekarang ini akan menghancurkan harga gabah di level usaha tani, di saat panen raya pada Maret. Dan keputusan impor ini tidak akan berpengaruh besar terhadap harga, kecuali hanya secara psikologis," ujar dia.

Meski Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyatakan beras impor tersebut akan masuk pada akhir Januari, Andreas tidak yakin beras tersebut akan masuk sesuai jadwal. Pasalnya, waktu pengiriman dari negara asal beras ke Indonesia setidaknya membutuhkan waktu 1,5 bulan.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Data Beras Beda, Kebijakan Peta Tunggal Segera Meluncur

Pemerintah akan merilis kebijakan satu peta (one map policy) pada 18 Agustus 2018. Dengan peta terintegrasi di berbagai sektor ini, diharapkan mampu menjadi referensi dalam mengambil kebijakan strategis sehingga tidak ada lagi perdebatan data pangan, termasuk produksi beras.  
 
"Memang (perbedaan data) harus kita selesaikan. Makanya kami sedang menyelesaikan one map policy dan akan di-launching 18 Agustus ini," tegas Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, seperti dikutip Sabtu (13/1/2018). 
 
 
Dengan peta tunggal ini, kata dia, pemerintah harus mengacu pada satu data yang sudah disusun dalam one map policy. Termasuk mengenai data pangan, seperti produksi beras yang saat ini tengah diperdebatkan lantaran ada perbedaan data Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan terkait impor beras. 
 
"Semua data mengenai apa pun di pemerintah harus menggunakan basis yang sama. Petanya ada juga yang termasuk sawah. Jadi, bagaimana menyelesaikannya (perbedaan data)? Jawabannya dengan one map policy," paparnya. 
 
 
 
 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya