DBS Prediksi Konsumsi Rumah Tangga Membaik pada 2018

Konsumsi rumah bakal pulih pada 2018 didukung perbaikan makro ekonomi dan kebijakan pemerintah.

oleh Achmad Dwi Afriyadi diperbarui 15 Jan 2018, 16:30 WIB
Seorang ibu memilih sayuran di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta, Kamis (27/8/2015). Naiknya harga kebutuhan pokok membuat pembeli mengurangi pembelian bahan makanan hingga menyebabkan daya beli masyarakat turun. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Konsumsi rumah tangga diperkirakan kembali pulih pada 2018. Sejumlah indikator menunjukkan adanya peningkatan optimisme konsumen yang terlihat dari kenaikan Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) Desember 2017 ke 126,4 poin.

Ini didukung oleh adanya perbaikan makro ekonomi serta kebijakan pemerintah memberikan stimulus kepada masyarakat. Konsumsi rumah tangga merupakan faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi pada 2017. Pada kuartal III, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) sebesar 5,06 persen lebih rendah dari target Bank Indonesia sebesar 5,18 persen.

Rendahnya pertumbuhan tercermin dari tingkat konsumsi rumah tangga yang turun menjadi 4,93 persen, dibandingkan 4,95 persen pada kuartal II-2017. Apalagi kenaikan tarif listrik pada Januari dan Mei turut mempengaruhi tingkat konsumsi masyarakat.

Namun kondisi ini diperkirakan membaik pada 2018. DBS Group Research memprediksi ekonomi Indonesia akan tumbuh sebesar 5,3 persen pada 2018. Angka ini lebih tinggi dari prediksi pertumbuhan PDB sebesar 5,1 persen pada 2017.

"Pertumbuhan ekonomi 2018 terutama akan didorong oleh peningkatan investasi di dalam negeri," ungkap Tiesha Putri dan Victor Stefano dalam laporan bertajuk “ASEAN Consumer: Food for Thought", seperti dikutip dari keterangan tertulis Senin (15/1/2018).

Investasi swasta diandalkan dengan terbatasnya ruang fiskal pemerintah. Undang-Undang (UU) mengatur pembatasan defisit anggaran maksimal 3 persen dari PDB. Diperkirakan defisit akan mencapai 2,6 persen pada 2018, lebih tinggi dari perkiraan pemerintah sebesar 2,2 persen.

DBS Group Research memperkirakan kenaikan defisit terutama didorong oleh potensi penerimaan pajak yang lebih rendah dari target.

Pada 2018, pemerintah mengalokasikan anggaran belanja sebesar Rp 2.221 triliun. Meski hanya meningkat sekitar empat persen dari tahun sebelumnya, tapi pemerintah diperkirakan cenderung lebih populis dengan memberikan sejumlah stimulus fiskal untuk menjaga konsumsi kepada masyarakat berpenghasilan rendah.

Anggaran subsidi energi dinaikkan sebesar 5 persen menjadi Rp 94,5 triliun, pemerintah juga menyatakan tidak akan menaikkan tarif listrik pada 2018.

Selain itu anggaran Program Keluarga Harapan (PKH) yang bisa digunakan warga untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari juga melonjak. Dari Rp 1,7 triliun yang mencakup 6 juta keluarga sasaran pada 2017, menjadi Rp 20,8 triliun meliputi 10 juta keluarga pada 2018.

PKH merupakan program yang memberikan bantuan dana kepada keluarga miskin mulai dari Rp 500 ribu hingga Rp 3,6 juta per tahun. Program ini selain untuk mengurangi angka kemiskinan juga diharapkan mampu memperbaiki daya beli konsumen, terutama di segmen menengah ke bawah.

"Dengan pemerintah yang cenderung lebih populis disertai kenaikan upah minimum regional, kami memprediksikan tingkat konsumsi rumah tangga secara berkala akan meningkat," papar Tiesha.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

 


Tahun Politik Bikin Untung atau Buntung?

Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro. (Dok Bappenas)

Sebelumnya, tahun 2018 akan menjadi perhatian masyarakat. Pasalnya, 2018 akan menjadi tahun politik di mana akan berlangsung pemilihan kepala daerah (Pilkada) serta proses menuju pemilihan presiden (Pilpres) tahun 2019. Lantas, bagaimana dampaknya perekonomian Indonesia?

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan, tahun politik punya potensi sebagai penggerak perekonomian. Hal ini berkaca pada tahun politik sebelumnya. Menurutnya, tahun politik akan mendorong perekonomian dari sisi konsumsi.

"Kalau melihat pengalaman pemilu sebelumnya tahun politik itu sebenarnya potensi. Karena tahun politik biasanya konsumsi itu mengalami pertumbuhan yang lebih tinggi. Apalagi setelah BPS memisahkan konsumsi rumah tangga dengan konsumsi nonrumah tangga. Konsumsi nonrumah tangga inilah yang terkait dengan kegiatan politik," jelasnya di Jakarta, Senin 18 Desember 2018.

Bambang menerangkan, konsumsi nonrumah tangga biasanya akan mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Lantaranya, kebutuhan untuk keperluan kampanye meningkat. Konsumsi itu lebih mengarah ke barang-barang yang tidak tahan lama (nondurable goods).

"Triwulan I 2014 masa kampanye Pilpres, pertumbuhan di konsumsi nonrumah tangga di atas 20 persen yang nondurable goods tadi beli kaos, t-shirt, sticker, banner, iklan TV," sambungnya.

Bukan hanya itu, ekonomi Indonesia juga akan ditopang oleh belanja pemerintah yang meningkat pada pos-pos tertentu di tahun 2018.

"Belanja pemerintah juga naik, anggaran untuk KPU meningkat, Bawaslu naik, pengamanan dari Polri juga naik. Jadi pasti ada dampak dari peningkatan anggaran," sambungnya.

Meski begitu, Bambang juga tak menampik, berdasarkan pengalaman tahun politik sebelumnya, investasi swasta juga tersendat. Pasalnya, investor berhati-hati untuk melanjutkan kegiatan ekonomi.

"Pengalaman di tahun pemilu sebelumnya, memang investasi swasta agak melambat. Wait and see cukup kencang di pemilu terakhir karena sepertinya ekonomi dan politik di Indonesia mash terlalu bercampur. Sehingga ada dinamika politik orang masih hati-hati dalam melakukan kegiatan ekonomi. Ini mudah-mudahan bisa beda ceritanya," tukas dia.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya