Liputan6.com, Jakarta - Mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli ikut angkat bicara soal data pangan, khususnya beras yang selama ini selalu disebut surplus oleh Kementerian Pertanian (Kementan).
Rizal mengungkapkan, data pangan sebenarnya ada bermacam-macam, yaitu dana Badan Pusat Statistik (BPS), data Kementan, data Kementerian Perdagangan (Kemendag), data Perum Bulog. Sejak dulu, kata dia, yang selalu tidak sinkron yaitu data Kementan dengan data Kemendag dan Perum Bulog.
"Dari dulu soal beras kan masalah puluhan tahun, data itu macam-macam, data BPS, data Kementan, data Kemendag, data Bulog. Kalau data Kementan cenderung berlebihan, maksudnya kadang-kadang terlalu tinggi. Dari jaman menteri pertanian dulu juga begitu, karena terkait dengan prestasi dia," ujar dia di Food Station Tjipinang, Jakarta, Senin (15/1/2018).
Baca Juga
Advertisement
Namun sebaliknya, data Kemendag dan Bulog selalu menyatakan kekurangan stok beras. Sebab, ada kepentingan untuk melalukan impor guna mencari keuntungan.
"Tapi data dari Kemendag, Bulog selalu kekurangan banyak, karena mereka motifnya mau impor. Dan sering ada permainan kalau impor, ada komisi US$ 20-US$ 30 per ton," kata dia.
Dalam kondisi seperti ini, lanjut Rizal Ramli, harusnya Menteri Koordinator Bidang Perekonomian yang memutuskan data mana yang akurat. Dengan demikian, kebijakan yang diambil sesuai dengan kondisi di lapangan dan terkoordinasi dengan baik.
"Dalam kenyataan, data yang benar itu yang di tengah, data Kementan dengan data Kemendag dan Bulog itu di tengah. Harusnya tugas Menko Perekonomian untuk menentukan data yang benar. Tapi saya tidak mengerti ke mana saja Menko Perekonomian sehingga soal begini yang putusin Wakil Presiden. Harusnya cukup ada level menko untuk menentukan data itu. Nah berdasarkan data yang benar itu baru diambil tindakan jika diperlukan," ujar dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
BPS: Kenaikan Harga Beras Tahun Ini Sangat Mencemaskan
Sebelumnya, Badan Pusat Statisk (BPS) mencatat sampai dengan minggu ke-II Januari ini, kenaikan harga beras di pasar sudah naik sekitar 3 persen. Peningkatan tersebut dianggap BPS sudah dalam kategori mengkhawatirkan atau mencemaskan.
Kepala BPS, Suhariyanto atau yang akrab disapa Kecuk mengatakan, pemerintah harus mengendalikan inflasi pada 2018 yang ditargetkan 3,5 persen. Target tersebut dipatok dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018.
"Pemerintah perlu mengendalikan inflasi di 2018, karena volatile food (gejolak pangan), terutama harga beras pergerakannya sudah mencemaskan," kata dia saat Rilis Neraca Perdagangan Desember 2017 di kantornya, Jakarta, Senin (15/1/2018).
Deputi Statistik Bidang Distribusi dan Jasa BPS, Yunita Rusanti menambahkan, pergerakan kenaikan harga beras di pasar hingga minggu ke-II Januari 2018 sudah mencapai sekitar 3 persen. Akhir Desember lalu, kontribusi beras terhadap inflasi sebesar 0,08 persen.
"Jadi kalau tidak dikendalikan harganya, dampaknya bisa ke inflasi Januari. Karena bobot beras ke inflasi cukup tinggi, yakni 3,8 persen. Artinya kalau ada kenaikan harga beras sedikit saja, akan berpengaruh ke inflasi," dia menjelaskan.
Yunita berharap, pemerintah melalui Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Bank Indonesia (BI), dan pihak-pihak terkait lain dapat meredam gejolak harga beras, sehingga tidak terus naik. Salah satunya dengan kebijakan impor beras.
"Dengan adanya impor beras khusus 500 ribu ton akan membantu sisi suplai, karena kemarin kan sempat langka di beberapa pasar. Kalau suplai dibantu, bisa menekan harga beras," terangnya.
Lebih jauh dia bilang, kenaikan harga beras sekitar 3 persen sampai pekan II bulan ini, sama dengan tahun-tahun sebelumnya.
"Jadi setiap Desember-Januari itu memang trennya harga beras naik. Kenaikannya kurang lebih sama sekitar 3 persen. Sebetulnya ini keseimbangan (suplai) antardaerah yang perlu dijaga," tandas Yunita.
Advertisement