HEADLINE: Harga Beras Meroket, Salah Siapa?

Setelah pada tahun lalu, harga listrik dan beberapa kebutuhan bahan pokok naik, pada awal 2018 ini harga beras ikut naik.‎

oleh Arthur GideonAchmad Dwi AfriyadiSeptian DenyFiki Ariyanti diperbarui 16 Jan 2018, 00:00 WIB
Pekerja membersihkan beras di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, Senin (15/1). Wagub Sandiaga Uno mengatakan Pemprov DKI akan selalu membeli beras Sulawesi dan Banten karena lebih memprioritaskan beras dari petani. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Liputan6.com, Jakarta - Harga beras terus meroket di pasaran. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sampai dengan minggu ke-2 Januari ini, kenaikan harga beras di pasar mencapai 3 persen.

BPS menganggap melambungnya harga beras ini sudah dalam kategori mengkhawatirkan atau mencemaskan karena akan mempengaruhi angka inflasi yang berujung ke daya beli masyarakat. 

Kepala BPS, Suhariyanto atau yang akrab disapa Kecuk, mengatakan pemerintah harus mengendalikan inflasi pada 2018 yang ditargetkan 3,5 persen. Target tersebut dipatok dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018.

"Pemerintah perlu mengendalikan inflasi di 2018, karena volatile food (gejolak pangan), terutama harga beras, pergerakannya sudah mencemaskan," kata dia saat Rilis Neraca Perdagangan Desember 2017 di kantornya, Jakarta, Senin (15/1/2018).

Pengamat Pertanian dan Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa menyatakan, masalah harga beras naik seharusnya bisa diredam jika ada data yang jelas. Selama ini, harga beras sering naik karena data produksi dan konsumsi tak jelas.

"Jadi, kebijakan pangan didasarkan pada data yang tidak akurat selama ini," ucap dia saat berbincang dengan Liputan6.com.

Dampak dari data yang tak akurat ini kemudian merembet karena Kemendag harus impor. Dibukanya keran impor beras ini akan merugikan petani lokal. Sebab, beras yang diimpor tersebut diperkirakan baru akan masuk berbarengan dengan masa panen petani pada Maret 2018.

Pengamat Ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menambahkan, dibukanya keran impor ini menjadi bukti kegagalan Kementan menjaga produksi beras di dalam negeri. Akibatnya, pasokan beras di pasaran menurun dan membuat harga melambung.

"Kesalahan ada di Kementan. Bukti kegagalan Kementan dalam menjaga pasokan dan produksi beras di tingkat petani," ucap dia.

Untuk diketahui, pemerintah memutuskan untuk membuka keran impor beras khusus. Hal tersebut dilakukan untuk menjamin ketersediaan beras di dalam negeri dan sebagai salah satu langkah untuk menekan harga beras di pasaran.  

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyatakan, pihaknya akan membuka impor beras khusus sebanyak 500 ribu ton. Beras tersebut rencananya akan mulai masuk pada akhir Januari 2018.

"Untuk mengisi ini, saya tidak mau mengambil risiko kekurangan pasokan, saya mengimpor beras khusus. Yang diimpor 500 ribu ton, start awal," ujar dia.

Enggar mengungkapkan, beras tersebut akan dipasok dari dua negara yaitu Thailand dan Vietnam. Namun, dia memastikan beras yang diimpor tersebut bukan jenis beras yang sudah mampu diproduksi di Indonesia.

"Dari berbagai negara yang ada. Dari Vietnam, Thailand, kita masukkan.‎ Beras yang tidak ditanam di dalam negeri. ‎Beras IR64 tidak kami impor, tetapi kami memasok beras impor," kata dia.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, impor beras merupakan kebijakan pemerintah untuk bisa menekan tingginya harga beras di pasaran. Termasuk memastikan kelancaran arus barang, terutama dalam menjalankan impor beras. Sementara Bank Indonesia akan memantau sumber-sumber penyebab inflasi dan pengendalian di sisi moneter.

"Kebijakan pemerintah, seperti impor beras dan kelancaran arus barang akan kami laksanakan, sehingga inflasi bisa ditekan dan distabilkan pada level yang tetap terjaga rendah," ujar mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu.

Data Tak Akurat

Ombudsman Republik Indonesia meminta Kementerian Pertanian untuk tidak lagi menyampaikan informasi stok beras yang tidak akurat kepada publik.

Anggota Ombudsman RI Ahmad Alamsyah Saragih mengungkapkan, selama ini Kementan selalu menyatakan jika produksi beras suplus dan stok cukup. Pernyataan tersebut hanya didasarkan pada perkiraan luas panen dan produksi gabah tanpa disertai jumlah dan sebaran stok beras secara riil.

‎"Kami menyarankan pemerintah menghentikan pembangunan opini-opini surplus yang berlebihan," ujar dia di Kantor Ombudsman RI, Jakarta, Senin (15/1/2018).

Foto dok. Liputan6.com

Gejala kenaikan harga beras sebenarnya sudah terjadi sejak akhir tahun, tanpa adanya temuan penimbunan dalam jumlah yang besar. Hal ini mengindikasikan kemungkinan proses mark up data produksi dalam model perhitungan yang digunakan selama ini.

Alamsyah menambahkan, akibat penyataan suplus yang tidak didukung data akurat tentang jumlah dan sebaran stok beras yang sesungguhnya di masyarakat, membuat pengambilan keputusan terkait perberasan berpotensi keliru.

"Ombudsman menyarankan juga (Kementan) melakukan evaluasi menyeluruh terhadap program cetak sawah, LTT (luas tambah tanam), benih subsidi, dan pemberantasan hama oleh Kementan," kata dia.


Distribusi panjang

Pekerja beristirahat di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, Senin (15/1). Wagub Sandiaga Uno mengatakan Pemprov DKI akan selalu membeli beras Sulawesi dan Banten karena lebih memprioritaskan beras dari petani. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Syarkawi Rauf. Lembaga yang menjadi wasit persaingan usaha tersebut menilai tingginya harga beras karena pasokan yang tidak stabil. Ketidakstabilan pasokan ini disebabkan beberapa hal, salah satunya permasalahan data.

Syarkawi melanjutkan, tingginya harga juga dipengaruhi distribusi beras yang buruk karena terlalu panjang. Pada arus distribusi ini rawan aksi spekulasi. Selain itu, Perum Bulog dinilai belum efektif meredam tingginya harga beras.

"Peran Bulog yang belum optimal menopang pasokan beras nasional melalui operasi pasar beras," dia menambahkan.

Menurut Syarkawi, masih tingginya harga beras nasional dibanding negara tetangga ini pula yang mendorong pemerintah membuka keran impor beras.

Dia bilang, berdasarkan data FAO pada tahun 2017, harga beras Vietnam sekitar US$ 0,31 per kg atau setara dengan Rp 4.100 per kg (kurs rupiah per US dolar sebesar Rp 13.225), Thailand sekitar US$ 0,34 per kg atau setara dengan Rp 4.496 per kg.

Sementara harga beras di dalam negeri sekitar US$ 0,79 per kg menurut FAO atau sekitar Rp 10.447 per kg."Tingginya disparitas harga beras internasional dibandingkan dengan harga beras di dalam negeri memberikan dorongan untuk melakukan impor," tukas dia.


Saling Lempar Tanggung Jawab

Pekerja memilih beras di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, Senin (15/1). Wagub Sandiaga Uno mengatakan Pemprov DKI akan selalu membeli beras Sulawesi dan Banten karena lebih memprioritaskan beras dari petani. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Mendapat tuduhan salah memberikan data, Kementan justru menyerahkan permasalahan data produksi beras ke Badan Pusat Statistik (BPS).  "Data serahkan BPS kita satu pintu. Yang terpenting adalah kita melihat tidak ada impor jagung dan beras masuk di Indonesia 2017," kata Menteri Pertanian Amran Sulaiman.

Menanggapi perdebatan data pasokan beras, Amran menggunakan hitungan kasar. Dia mengatakan, musim tanam berlangsung pada Oktober. Jadi, dengan umur padi sekitar tiga bulan, maka panen akan terjadi pada Januari.

"Logika sederhana ya Oktober hujan, sepakat? Umur padi tiga bulan. Daripada kugunakan data, daripada diperdebatkan kita hitung-hitungan di lapangan. Oktober hujan, berarti tanam. Umur padi tiga bulan, Oktober, November, Desember, berarti Januari ada panen," ujar dia.

Selanjutnya, panen akan terus berlangsung dan mencapai puncaknya pada Februari. "Ada ya, kalau ada berarti ada, Februari lihat. Kalau normal, Februari masuk panen puncak. Februari, Maret April," ujar dia.

Hal berbeda diungkapkan oleh BPS. Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS), Yunita Rusanti menegaskan, data produksi beras merupakan wewenang dari Kementan. 

"BPS tidak mengeluarkan data produksi beras. Kita kembalikan ke Mentan karena itu wewenangnya. Sampai sekarang kita belum mengeluarkan lagi data (beras)," tegas dia di kantornya, Jakarta, Senin (15/1/2018).

Yunita mengaku, pemerintah khususnya BPS sedang membenahi atau melakukan perbaikan data produksi padi, gabah maupun beras, sehingga ke depan akan menggunakan satu basis data sebagai acuan dalam pengambilan kebijakan pemerintah.

"Kita masih dalam taraf kerangka sampel area. Kita sedang benahi, kita ingin datanya lebih akurat," ucapnya.

Sementara itu, Direktur Statistik Distribusi BPS, Anggoro Dwitjahyono, menilai perbedaan data produksi beras terjadi karena Kementan melihat dari sisi produksinya, sementara Kemendag memotret dari kenaikan harga beras yang terjadi di pasar.

"Kementan melihat dari produksinya pada posisi tertentu, sedangkan Kemendag melihat dari harganya. Harga mulai merangkak tinggi, maka jadi warning yang menggambarkan terganggunya suplai dan demand di sana (pasar)," dia menjelaskan.

Senada, Anggoro menegaskan bahwa BPS tengah memperbaiki data produksi padi, beras atau gabah. "Kita sedang melakukan perbaikan. Nanti akan ada rilis. Sekarang ini kan belum ada, tapi nanti akan ada," tukasnya.

Ketua KPPU Syarkawi Rauf mengusulkan supaya data produksi beras diaudit sehingga tidak terus-menerus menjadi sumber perdebatan.

"Melakukan audit data produksi beras di BPS dan Kementan bersama-sama perguruan tinggi sehingga tidak terus-menerus menjadi sumber perdebatan," ucapnya.

 


Tekan daya beli

Pekerja mengangkut karung beras di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, Senin (15/1). Wagub Sandiaga Uno mengatakan Pemprov DKI akan selalu membeli beras Sulawesi dan Banten karena lebih memprioritaskan beras dari petani. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, mengatakan setelah pada tahun lalu, harga listrik dan beberapa kebutuhan bahan pokok naik, pada awal 2018 ini kehidupan buruh semakin sulit dengan naiknya harga beras.‎

Dia menjelaskan, kebutuhan pokok masyarakat yang mengalami kenaikan signifikan adalah tarif listrik yang dampaknya masih terasa hingga saat ini, naiknya biaya kontrakan atau kos, dan sekarang diperparah dengan naiknya harga beras.

“Ketiga kenaikan harga kebutuhan tersebut mengakibatkan daya beli buruh turun berkisar 20 sampai 25 persen,” ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (15/1/2018).

Padahal, ucap Iqbal, kenaikan upah pada 2018 hanya 8,71 persen. Dengan demikian, buruh untuk memenuhi kebutuhan sehari-seharinya di tahun ini buruh harus menombok berkisar Rp 300 ribu-500 ribu rupiah per bulan.

‎"Dengan berutang karena upah yang mereka terima tidak mencukupi untuk membiayai kebutuhan hidup, itu artinya daya beli buruh makin anjlok," kata dia.

Oleh sebab itu, dirinya meminta pemerintah untuk segera mengatasi lonjakan harga beras ini. Sebab jika tidak, maka daya beli buruh akan semakin menurun.

"KSPI dan buruh Indonesia mendesak pemerintah untuk mengendalikan harga beras dengan cara menurunkan harga beras menjadi lebih murah," ucap dia.

Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih mengatakan, kondisi yang terjadi saat ini menunjukkan jika swasembada pangan gagal tercapai.

"Tentu kita masih ingat janji Mentan (Menteri Pertanian) Amran Sulaiman yang siap mundur apabila Indonesia gagal swasembada pangan, nah ini kita impor 500 ribu ton beras berarti kan gagal swasembada," kata Henry.

Dia menambahkan, hal tersebut menunjukkan Kementerian Pertanian gagal mewujudkan program Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK).

"Kementan harus dipimpin oleh menteri yang sanggup menjalankan semangat kedaulatan pangan yang tercantum dalam Nawacita," ujar dia.

Henry menyatatakn, tingginya harga beras merugikan konsumen sekaligus petani. Lantaran, petani juga membeli beras dengan harga tinggi. "Petani padi sendiri juga adalah konsumen yang membeli beras dengan harga yang tinggi," kata dia.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya