Liputan6.com, Cape Town - Dalam 90 hari ke depan, Kota Cape Town di Afrika Selatan diramalkan akan kehabisan pasokan sumber daya air. Kekeringan yang melanda kawasan tersebut sejak tiga tahun lalu, membuat otoritas setempat terpaksa mendesak 4 juta warganya menggunakan air tidak lebih dari 87 liter per hari.
Dilansir dari laman Time.com, Selasa (16/1/2018), Cape Town diprediksi akan benar-benar kekurangan pasokan air pada 22 April mendatang. Prediksi ini didasarkan pada kalkulasi mingguan tentang kondisi pasokan dan konsumsi air oleh warga kota.
Baca Juga
Advertisement
Kota ini sejatinya tidak benar-benar akan kehabisan pasokan sumber daya air melainkan kemungkinan sisa 10 persen pasokan air di bendungan berisiko memicu konflik sosial.
Pemerintah setempat akhirnya memutuskan, jika pasokan air di bendungan mencapai 13,5 persen dari kapasitas maksimum, maka akan difokuskan untuk kepentingan layanan publik, seperti rumah sakit.
Begitu kritisnya isu ini, pemerintah sampai mengerahkan pasukan keamanan di beberapa sudut kota untuk menghalau terjadinya kemungkinan sabotase pemanfaatkan pasokan sumber daya air.
Bukan tanpa sebab krisis air kian memburuk di Cape Town, dan Afrika Selatan secara umum. Selain anomali cuaca yang menyebabkan siklus kedatangan El Nino lebih lama dari yang seharusnya, ada pula beberapa faktor lain turut menjadi "dalang" secara tidak langsung.
Berikut, adalah tiga alasan utama di balik ramalan kekeringan parah yang melanda kota Cape Town.
1. Gagal Memprediksi Cuaca
Sebagaimana negara-negara yang berada di kawasan subtropis, prediksi curah hujan didasarkan pada hubungan antara kemunculan siklus La Nina dan El Nino. La Nina adalah siklus cuaca yang membawa curah hujan tinggi. Adapun, El Nino cenderung membawa cuaca terik dengan sedikit curah hujan.
Mengutip laporan dari laman Theconversation.com pada Oktober 2017, sebuah anomali cuaca terjadi di Afrika Selatan sejak 2011.
Siklus El Nino perlahan terjadi lebih lama dari tahun ke tahun, dengan puncaknya tercatat pada 2016, yakni saat musim kemarau berlangsung hampir sembilan bulan lamanya.
Ketika siklus La Nina datang, curah hujan juga tidak kunjung tinggi, dan hanya menyisakan tidak lebih dari cuaca mendung.
Advertisement
2. Salah Ambil Keputusan
Pada 2015, pemerintah Provinsi West Cape yang menaungi Kota Cape Town, mengeluarkan kebijakan pasokan air sebesar 60 persen untuk kepentingan pertanian setempat.
Sayangnya, distribusi terkait justru lebih menyasar ke pertanian jangka panjang, yakni pertanian yang membutuhkan pengairan konstan dalam jangka waktu lama, seperti buah-buahan dan kebun anggur.
Bersamaan dengan berlakunya kebijakan terkait, Afrika Selatan mulai dilanda anomali cuaca sehingga mengakibatkan permintaan pasokan air untuk bidang pertanian meningkat.
Alhasil untuk menutupinya, pemerintah sempat mengambil sekitar 25 persen pasokan air publik.
3. Korupsi
Salah satu organisasi masyarakat setempat, South African Water Caucus, menyebut pemerintah pusat turut berperan menyebabkan terjadinya krisis air yang parah di Cape Town.
Pemerintah pusat disebut melakukan kesalahan manajemen dalam pengelolaan dana pengairan. Selain itu, dugaan korupsi juga dilaporkan terjadi di beberapa lingkup pemerintahan, utamanya yang berkaitan dengan urusan keuangan dan lingkungan.
Alasan ini kian diperkuat dengan adanya laporan dari Badan Audit Nasional setempat, yang menyebut sepanjang 2016 hingga 2017 terdeteksi penggunaan dana misterius pada Departemen Pengairan dan Sanitasi, yakni sebesar 110,8 juta rand, atau sekitar Rp 120 miliar.
Advertisement