Liputan6.com, Jakarta - Idrus Marham merupakan sosok yang rajin menghadiri sidang kasus e-KTP yang menjerat Setya Novanto, mantan Ketua Umum Golkar. Kendati telah menjabat sebagai Menteri Sosial, Idrus mengaku tetap akan menghadiri sidang rekan separtainya tersebut.
"Saya kira enggak ada masalah. Saya prinsip awal dari saya, sekali lagi diajari sejak kecil, ketika ada sahabatnya, saudaranya ditimpa musibah, menghadapi masalah, apa pun posisi kita, kita harus memberikan empati kepadanya, bukan justru lari. Kalau lari, itu bukan sikap yang gentle," kata Idrus Marham di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (17/1/2018).
Advertisement
Menurut dia, sikap tersebut juga sesuai dengan ajaran agama Islam. Jika ada seseorang yang tengah tertimpa musibah, kata dia sebagai sahabat wajib untuk menyemangatinya.
"Dan di sini ada kontradiksi dnegan politisi. Di politik Kalau kita kena musibah, hilang semua. Agama tidak mengajarkan seperti itu," ucap Sekjen Partai Golkar itu.
Idrus beberapa kali hadir dalam persidangan kasus korupsi e-KTP dengan terdakwa Setya Novanto. Salah satunya, pada sidang perdana Setya Novanto. Namun, Idrus sempat tak hadir saat tim penasihat hukum Setnov membacakan pleidoi Setnov pada 20 Desember 2017.
Dia sempat mengatakan, dia hadir untuk memberikan dukungan kepada Setya Novanto.
"Beliau sedang dalam masalah. Jadi, tetap harus diberikan dukungan. Jangan hanya pada saat Beliau di atas saja kita berteman," kata Idrus Marham beberapa hari lalu.
Kasus Setya Novanto
Setya Novanto didakwa mendapat keuntungan US$ 7,3 juta dan jam tangan Richard Mille senilai US$ 135 ribu dari proyek e-KTP. Dia didakwa Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement