Liputan6.com, Padang - Sebagian penduduk di Pulau Sumatera masih percaya dengan keberadaan manusia kerdil atau orang pendek yang lebih dikenal dengan nama Uhang Pandak.
Orang pendek atau manusia kerdil tersebut dipercayai tinggal di pedalaman hutan atau rimba raya Sumatera. Hingga saat ini, masih banyak yang berupaya mencari keberadaan mereka untuk membuktikan kebenaran ada atau tidaknya orang pendek tersebut.
Di Gunung Sago, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, misalnya. Masyarakat setempat menyebut orang pendek dengan sebutan Anak Ghoteh. Ada juga yang menyebutnya Bigau.
Baca Juga
Advertisement
Sekitar 1930, perburuan terhadap manusia pendek pernah terjadi. Bahkan, orang kerdil dikabarkan pernah tertembak di Pasir Pengaraian, Rokan Hulu, Riau.
Perburuan terhadap manusia pendek dipicu oleh ambisi bangsa Eropa untuk kepentingan ilmiah. Mereka ingin sekali memperoleh contoh makhluk itu.
Selain untuk memperoleh kebenaran kabar tersebut, mereka juga menyelidiki perbedaan orang pendek tersebut dengan manusia.
Orang Bunian
Seorang warga menuturkan, masyarakat di kampungnya percaya cerita manusia bertubuh pendek, tepatnya di Balimbing, Kota Padang, Sumatera Barat. Biasanya, orang pendek tersebut disebut orang Bunian.
"Tapi dari ciri-ciri sama seperti Uhak Pandak yang lebih banyak dikenal orang," ucap Novi Yenti yang juga merupakan mantan wartawan kepada Liputan6.com, Selasa, 16 Januari 2018.
Ia menjelaskan, tubuh pendek dan lari yang sangat kencang menjadi ciri khas yang dipercaya oleh orang-orang di kampungnya.
"Mak Itam (paman) yang berdagang satai, pernah bercerita seorang bertubuh pendek terlihat seperti anak-anak berjalan dari arah bukit, lalu berbelanja satai," ujarnya.
Namun, setelah membayar, orang pendek tersebut berlari sangat cepat. Orang pendek itu pun tidak terlihat lagi.
"Masyarakat di kampung masih percaya adanya kelompok orang kecil di Bukit Barisan Kuranji, meski belum ada bukti kuat keberadaan mereka," Novi memungkasi.
Advertisement
Orang Pendek, Makhluk Setengah Manusia?
Sementara itu, menurut dosen dan peneliti dari Universitas Leiden, Belanda, Suryadi Sunuri, banyak nama yang diberikan kepada orang pendek. Misalnya, Leco (ejaan lama: Letjo) dan Anak Ote--seperti yang dituliskan Suryadi di dalam blog pribadinya, niadilova.wordpress.com.
Sebagian penduduk lokal di Sumatera, mengategorikan orang pendek ini sejenis binatang. "Letjo itoe sebangsa machloek jang sangat hampir kepada manoesia, boleh dikatakan setengah manoesia," dilansir Pandji Poestaka No. 49, Tahun X, 17 Juni 1932, yang dikutip Suryadi.
"Menoeroet tjerita-tjerita jang disampaikan kepada orang kampoeng, ialah akan memboektikan dan menjempoernakan keinginan hati sebahagian dari ahli-ahli 'ilmoe pengetahuan jang menaroeh kejakinan, bahasa manoesia ini asalnja dari binatang. Maka letjo itoelah satoe djendjang jang akan dipergoenakannja djadi soeloeh penerangi 'ilmoe orang pandai-pandai itoe'. Rasanja dengan mendapat binatang, jang telah lama diidam-idam oleh ahli-ahli ditanah Eropah itoe, akan bergoentjang ilmoe pengetahoean tentang asal oesoel manoesia itoe," seperti temaktub di Pandji Poestaka No. 49, Tahun X, 17 Juni 1932:758.
Suryadi menjelaskan, para ilmuwan Eropa dari Belgia pernah mau membayar uang senilai Rp 100 ribu, angka yang sangat besar untuk masa itu. Untuk diketahui, Museum Gedang Arca di Amerika Serikat, pernah membeli tubuh orang pendek tersebut dengan harga US$ 1 juta.
Perburuan Orang Pendek Dihentikan
Iming-iming uang yang dijanjikan oleh ilmuwan Eropa banyak mendorong penduduk lokal memburu orang pendek. Karena dikhawatirkan dapat mengancam kelangsungan hidup spesies ini, maka otoritas kolonial pada masa itu melarang melanjutkan perburuan terhadap orang pendek.
Pandji Poestaka No. 48, Tahun X, 14 Juni 1932:749 menulis: "Memboeroe Orang Pendek diperhentikan".
Keingintahuan ilmuwan Eropa yang begitu tinggi terhadap Leco ini terus berlanjut sampai sekarang. Namun, keadaannya berbeda dengan di Tanah Air sendiri. Leco, Bigau, Anak Ote, Anak Ghoteh, atau Uhang Pandak lebih sering dihubungkan dengan hal-hal gaib, mistis, dan kesaktian rimba raya yang dianggap angker.
Adapun beberapa laporan juga pernah ditulis oleh sejumlah peneliti dari Eropa tentang orang pendek. Misalnya, Robert Cribb. Ia menulis "Nature Conservatism and Cultural Preservation in Convergence: Orang Pendek and Papuan in Colonial Indonesia" dalam Stella Borg Barthet (ed.), A Sea for Encounters: Essays Towards a Postcolonial Commonwealth, Amsterdam-New York, NY: Rodopi, 2009: 223-242.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement