Liputan6.com, Depok - Ada kabar menggembirakan soal situs sejarah Rumah Cimanggis di Kota Depok, Jawa Barat. Bangunan tua itu telah dimasukkan dalam Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya pada Direktorat Penyelamatan Cagar Budaya dan Permuseuman Kemdikbud.
Hal itu diungkapkan pegiat sejarah Kota Depok, Ratu Farah Diba. Farah mengatakan, setelah didaftarkan, Rumah Cimanggis akan diteliti pihak Kemdikbud.
Advertisement
"Rumah Cimanggis sudah saya daftarkan ke registrasi nasional direktorat pelestarian cagar budaya. Salah satu isian harus dilengkapi denah dan sketsa bangunan rumah cimanggis," kata Farah kepada Liputan6.com, Rabu 17 Januari 2018.
"Sketsa dan denah sudah jadi," ujarnya.
Farah menuturkan, pendaftaran dilakukan pada Jumat pekan lalu bersama tim. Kebetulan Badan Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Banten minta didampingi untuk observasi dan pendataan.
Langkah berikutnya, lanjut Farah, baru bisa ditetapkan status cagar budaya oleh Wali Kota Depok melalui peraturan daerah (perda). Pendaftaran Rumah Cimanggis ini sejalan dengan UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Apalagi, dalam Pasal 29 ayat (2) UU tersebut disebutkan masyarakat diizinkan untuk mendaftarkan bangunan yang memenuhi kriteria-kriteria tertentu sebagai cagar budaya.
"Sekarang sedang menunggu verifikasi apakah layak untuk ditetapkan atau tidak. Rujukannya ke pemkot yang harus menetapkannya," jelasnya.
Rumah Cimanggis merupakan bangunan bersejarah yang dibangun Belanda pada tahun 1775 oleh Gubernur Jenderal ke-29 Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), Petrus Albertus van der Parra. Petrus Albertus membangun rumah tersebut untuk ditempati istrinya, Adrianna Johanna Bake.
Namun belakangan, Rumah Cimanggis yang juga dikenal dengan Gedong Tinggi itu menjadi polemik. Sebab, lokasinya berada akan dijadikan area pembangunan kampus Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) yang direncanakan pemerintah pusat.
Sisi Lain Rumah Cimanggis
Rumah Cimanggis kembali mencuat setelah Wakil Presiden Jusuf Kalla enggan menyebut rumah tersebut sebagai situs budaya.
"Rumah itu, rumah istri kedua dari penjajah yang korup. Masa situs itu harus ditonjolkan terus. Jadi rumah istri kedua gubernur yang korup. Masa mau menjadi situs masa lalu. Yang mau kita bikin di situs-situs masa depan. Suka mana? Situs masa depan," ucap JK di kantornya, Jakarta, Senin (15/1/2018).
Hal itu pun langsung ditanggapi peneliti kebudayaan Betawi, Gusman Nawi. Kepada Liputan6.com, Gusman menuturkan Adrianna Johanna Bake, istri kedua Van Der Parra, dinikahi tahun 1743. Itu berarti setelah Van Der Parra dua tahun ditinggal mati istrinya yang pertama, Elizabeth Petronella Van De Aerden, dan itu pun sewaktu masih di Colombo.
"Artinya status Adriana Johanna Bake bukan istri dimadu yang kesannya negatif (pengganggu rumah tangga orang)," kata Gusman yang juga penulis buku Main Pukulan Khas Betawi.
Terkait tudingan Van Der Parra sebagai gubernur jenderal yang korup, dikatakan Gusman, hal itu baru dugaan. Sebab, beberapa lawan politik sang gubernur yang melayangkan surat gugatan ditolak Dewan 17 karena tidak ada bukti.
Ia pun mengungkapkan sisi positif sejarah lain dari kehidupan Van Der Parra tidak diutarakan. Misal, keluarga Gubernur Jenderal Van Der Parra dan Adriana Johanna Bake di zamannya menjadi tolok ukur keharmonisan rumah tangga keluarga Belanda di Batavia.
"Adriana Johanna Bake merupakan wanita pertama Belanda yang lahir di luar Belanda yang sukses menjadi first lady," ucapnya.
Selain itu, lahan Rumah Cimanggis merupakan lahan stasiun pemancar RRI (zendercomplex) terluas di zamannya (58 ha) setelah dipindahkan dari Ragunan di tahun 1957. Sekaligus menjadi titik cek point jalur Postweg (Jalan Raya Pos) trans Jawa yang menghubungkan Jakarta-Bogor.
"Juga salah satu sentra awal pertumbuhan sebuah kota sebelah timur Jakarta melalui pasar Cimanggis yang dibangun," ujarnya.
Adapun nilai arsitektur bergaya campuran (Barat-Timur) bangunan Rumah Cimanggis dapat jadi pengetahuan generasi muda, baik itu pelajar dan mahasiswa.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Advertisement