Liputan6.com, Semarang - Nama Oei Tiong Ham pernah sangat ngetop pada abad 19. Bahkan ia disebut-sebut sebagai konglomerat Asia yang pertama. Oei Tiong Ham lahir di Semarang, 19 November 1866. Ia mewarisi bakat usaha dan kekayaan senilai 17,5 juta gulden dari ayahnya, Oei Tjie Sien, pada 1890.
Dari sejumlah literatur, usaha keluarga Oei berada di bawah bendera kongsi dagang Kian Gwan. Awalnya perusahaannya bergerak dalam bidang perdagangan karet, kapas, gambir, tapioka dan kopi.
Usaha itu semakin membesar kemudian berubah menjadi Oei Tiong Ham Concern (OTHC). Pengaruh usahanya kian menggurita dengan merambah bisnis ekspedisi, kayu, properti, sampai opium.
Baca Juga
Advertisement
Menurut sejarawan Semarang Jongkie Tio, pada 1880 terjadi krisis gula sehingga banyak pabrik gula di Jawa Timur yang berhutang dan tak mampu membayar. Dari titik inilah Oei Tiong Ham mulai menguasai pabrik-pabrik gula.
"Saat itu Oei Tiong Ham menerapkan kontrak bisnis. Saat itu kontrak merupakan hal langka di kalangan pengusaha Cina. Berbekal kontrak itu, ia kuat secara hukum dan sukses menguasai aset pengutang yang gagal bayar," kata Jongkie Tio.
Sejak itulah Oei Tiong Ham dikenal sebagai Raja Gula. OTHC terus berkembang dan memiliki bermacam-macam aset. Mulai dari properti, pabrik, bank, saham, dan juga kapal. Perusahaannya terus membuka cabang dan merambah hingga Singapura, Bangkok, Hong Kong, Shanghai, London, Mexico, Karachi, New York, dan kota lain.Di tiap-tiap kota itu, Oei Tiong Ham memiliki rumah pribadi yang mewah. Di Beijing, sebuah bekas istana abad 17 yang memiliki ratusan kamar, ia beli dengan harga US$ 100 ribu. Tak hanya itu, Oei Tiong Ham masih membelanjakan uangnya jauh lebih besar, yakni US$ 150 ribu, untuk mendekorasi bekas istana itu.
"Keuntungan OTHC pada awal abad 20 sudah mencapai 18 juta gulden. Sedangkan kekayaan Oei Tiong Ham mencapai 200 juta gulden. Ia adalah taipan perusahaan multinasional pertama di Asia Tenggara," kata Jongkie.
Sebagai orang kaya yang memiliki berbagai perusahaan, Oei Tiong Ham otomatis dikenal luas oleh banyak pihak. Oleh Gubernur Jendral Belanda, Mr. Baron van Heeckeren ia pun diangkat menjadi pemimpin Tionghoa di Semarang. Oei Tiong Ham menjadi seorang Mayor de Chineezen.
Pemberani Namun Dekat Pejabat
Menurut Jongkie, pada masa lalu, seorang tionghoa selalu memiliki taochang. Kuncir rambut seperti dalam film-film kungfu China klasik. Namun Oei Tiong Ham memotong taochang itu dan berpakaian jas seperti orang Eropa. Tak seperti orang kaya lainnya, Oei Tiong Ham tak punya pengawal atau bodyguard.
"Ia memanfaatkan bandit-bandit lokal untuk menjamin keamanan dirinya dan keluarganya," kata Jongkie.
Sebagai orang kaya, ia tentu banyak disukai perempuan. Namun Oei Tiong Ham hanya memiliki seorang istri saja. Geo Bing Nio. Meski demikian, ia mengangkat 18 selir. Anaknya ada 42 orang.
Dari 42 anak itu, Oei Tiong Ham sangat sayang terhadap putri keduanya, Oei Hui Lan. Kepribadian Oei Hui Lan sangat berbeda dengan kakaknya yang bernama Oei Tjong Lan.
Menurut Oei Hui Lan dalam buku "Oei Hui Lan" tulisan Agnes Davonar, Oei Tjong Lan lebih cantik, lebih tinggi, dan berambut lurus. Beda dengan Hui Lan yang berambut keriting.
Apapun yang diinginkan Hui Lan, Tiong Ham akan memberikannya. Bahkan ia berpesan khusus kepada toko-toko yang sering dikunjungi Hui Lan dan Bing Nio.
"Beri saja apa yang dia mau," kata Tiong Ham.
Saat ini, bangunan tempat tinggal Oei Tiong Ham di Semarang yang awalnya mencapai 92 hektare hanya menyisakan sebuah bangunan yang disebut Balekambang atau dikenal dengan sebutan gedung gula. Oei Tiong Ham mulai menempati rumah sangat mewah dan sangat besar itu pada usia 22 tahun.
Saat itu pemerintah kolonal Belanda masih menerapkan Wijkenstelsel, yaitu aturan yang menciptakan pemukiman etnis Tionghoa atau pecinan di sejumlah kota besar di Hindia Belanda.
Ini menindaklanjuti peristiwa Geger Pacinan di Batavia, di mana orang Tionghoa di Batavia tahun 1740 dibantai. Sejak itulah orang Tionghoa dilarang tinggal di sembarang tempat.
"Aturan itu akhirnya mengikat orang-orang Tionghoa untuk tinggal di wilayah tertentu sesuai aturan kolonial. Nah, Oei Tiong Ham berani tinggal di luar wilayah yang ditentukan," kata Jongkie.
Advertisement
Bos Opium
Istana itu awalnya milik Hoo Yam Loo. Pengusaha Tionghoa dengan hak monopoli candu/opium. Ketika Yam Loo rugi besar, usahanya bangkrut. Sejak itu, harta Hoo disita pengadilan untuk dilelang, termasuk gedung besar miliknya tersebut. Tak ada catatan resmi pembangunan gedung ini, diperkirakan pembangunan berlangsung pada akhir 1800an.
Oei Tjie Sin, ayah Tiong Ham, memenangkan lelang rumah Hoo itu pada 1883. Kembali ke keberanian Oei Tiong Ham, gedung milik Yam Loo yang dibeli itu tak berada di pecinan, melainkan di permukiman Belanda. Agar semua lancar, Oei Tiong Ham menyewa pengacara Belanda terbaik untuk mengurus legalitasnya.
Kedekatannya dengan Gubernur Jenderal ikut memperlancar izin tinggal di rumah barunya tersebut. Setelah resmi, gedung itu dibangun lagi tanpa mengikuti gaya arsitektur Cina. Oei Tiong Ham melapisi lantai dengan marmer dari Itali. Karakter Tionghoa hanya ada di gerbang pelataran gedung.
"Aslinya, hiasan diisi dengan lukisan, sulaman, dan kaligrafi aksara Cina," kata Jongkie Tio.Oei Tiong Ham meninggal pada 1924 karena serangan jantung. Ia meninggalkan seorang isteri dan 18 gundik. Anak-anaknya dari isteri maupun gundiknya lebih dari 50. Harta yang ditinggalkan sekitar 200 juta Gulden Belanda.
Namanya dulu diabadikan menjadi nama salah satu jalan besar "Oei Tiong Ham weg"di Kota Semarang. Saat ini jalan tersebut berubah menjadi Jalan Pahlawan.
Dinasionalisasi
OTHC diambil alih pemerintah melalui keputusan Pengadilan Ekonomi Semarang No. 32/1561 EK.S pada 10 Juli 1961 dan diperkuat Keputusan Mahkamah Agung RI No.5/Kr/K/1963 pada 27 April 1963. OTHC diubah menjadi PT. Perusahaan Perkembangan Ekonomi Nasional Rajawali Nusantara Indonesia (PPEN RNI) 1964, hingga menjadi PT. RNI pada 2001.
Selain di luar negeri, aset dan properti Tiong Ham tersebar di seantero Semarang. Kompleks Istana seluas 81 hektar di Gergaji terbentang hingga Simpanglima, Jalan Pandanaran, Randusari, Mugas, Jalan Pahlawan termasuk kompleks kantor Gubernur dan Markas Polda Jawa Tengah.Kini seluruh kawasan ini telah padat oleh permukiman dan bangunan baru. Sebagian besar peninggalan Tiong Ham telah dihancurkan seperti gudang di Jalan Pedamaran, Kampung Tamtin, Pasar Johar, Semarang.
Di lokasi padat penduduk ini, telah berdiri petak-petak rumah 3×3 meter dengan lebar jalan tak sampai 1 meter dan berimpitan dengan bangunan di sebelahnya.
Sekitar 1975 makam Tiong Ham di Semarang dibongkar. Tulangnya diabukan di Singapura dan namanya diabadikan sebagai nama jalan di sana.
Bekas makam si Raja Gula di Semarang ini tak jauh dari pom bensin Pamularsih, satu kawasan dengan Gedong Dhuwur atau Sarang Garuda, bekas kantor Tiong Ham warisan dari ayahnya.
Advertisement