Liputan6.com, Jakarta - Bandung kala itu baru saja disapa mentari pagi. Warga beraktivitas rutin seperti biasa di pasar-pasar. Mereka membuka toko-toko untuk menatap hari penuh sukacita. Suasana tampak ramai.
Tak berselang lama, Bandung berubah bak kota mati. Pukul 08.00 WIB, Senin, 23 Januari 1950 silam, sekitar 500 hingga 800 prajurit gabungan tentara Belanda KNIL-KL merangsek masuk ke sudut-sudut strategis kota. Pasukan itu bergerak sejak pukul 04.30 WIB melalui Jalan Pos Besar menuju Bandung.
Advertisement
Serdadu itu tergabung dalam Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) di bawah kepemimpinan Kapten KNIL Raymond Westerling.
Mereka bergerak menggunakan truk, jeep, motor, dan ada pula yang berjalan kaki. Semua berseragam dan bersenjata lengkap. Sambil melepaskan tembakan ke atas, para perusuh itu meneror penduduk sipil dengan merampas barang dan menyiksanya.
Akibatnya, warga ketakutan. Banyak toko-toko yang baru buka langsung ditutup kembali. Mereka menyelamatkan diri masing-masing dari pasukan APRA.
Tak hanya itu, pos-pos polisi di sepanjang jalan raya seperti Cimindi, Cibereum, dan beberapa lainnya mereka lucuti. Kondisi Jawa Barat saat itu masih belum kondusif karena tengah dilanda masalah Negara Pasundan.
Dalam aksi biadabnya, mereka membunuh semua orang berseragam Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) yang dijumpai. Mereka juga menyergap beberapa personel yang tengah bersiap-siap menuju markasnya masing-masing. Satu per satu anggota APRIS itu tewas dengan kondisi mengenaskan.
Seperti yang terjadi di perempatan Jalan Banceuy Bandung. Seorang prajurit APRIS yang tengah mengendarai Jeep Willys dihentikan. Dia disuruh turun lalu kepalanya ditembak. Tak hanya itu, di sekitar Jalan Braga, tepat di muka Apotheek Rathkam mereka juga menghabisi seorang perwira APRIS dengan dua pengawalnya yang tengah mengendarai sedan.
Keberingasan APRA Kian Menjadi
Keberingasan pasukan APRA semakin menjadi-jadi. Di dekat Taman Sari, tiga prajurit APRIS yang tertangkap diperintahkan berdiri di atas jembatan. Mereka kemudian ditembak mati. Jasadnya langsung terjebur dan hanyut di Sungai Cikapundung yang membelah Kota Bandung.
Markas Divisi Siliwangi menjadi incaran pasukan APRA. Para tentara yang sebagian besar dari Korps Speciale Troepen (KST, Kopassusnya Belanda) itu mengepung sasarannya. 15 Tentara dari regu jaga tak mau kalah. Mereka melawan. Pasukan yang dipimpin Letkol Sutoko itu menghadang laju gerakan tentara APRA yang jumlahnya mencapai 150 orang.
Ini mereka lakukan demi meloloskan para komandan dari kepungan pasukan APRA.
Lantaran kalah jumlah, pasukan APRIS Divisi Siliwangi pun tumbang. Satu per satu personelnya gugur di tangan pasukan APRA. Hanya Letkol Sutoko, Letkol Abimanyu dan seorang opsir lainnya yang selamat karena dapat meloloskan diri dari pengepungan. Alhasil, APRA menduduki markas Divisi Siliwangi.
Kala markas telah diduduki APRA, Letkol Lembong dan ajudannya Leo Kailola masuk ke lokasi tersebut. Keduanya langsung dihujani peluru oleh gerombolan tersebut dan dua prajurit itu pun gugur.
“Perdjurit TNI yang sedang berjalan-jalan di kota dengan tidak bersenjata, dibunuh seperti anjing dan dicincang seperti terjadi dengan almarhum Overste Lembong,” kata RSoenario, Jaksa Penuntut Jungschlager (Rekan Westerling).
Dalam catatannya, aksi biadab perusuh itu telah menewaskan 79 orang. Mereka terdiri atas 61 serdadu TNI dan 18 sipil. Sedangkan di pihak APRA, tak ada seorang pun yang menjadi korban.
Advertisement
Ramai Pergolakan
APRA menjadi pasukan pemberontak paling awal setelah Indonesia diakui kedaulatannya oleh Belanda. Ini menyusul hasil Konferensi Meja Bundar menghasilkan suatu bentuk negara Federal untuk Indonesia yang bernama Republik Indonesia Serikat (RIS).
Suatu bentuk negara ini merupakan suatu proses untuk kembali ke NKRI, karena memang hampir semua masyarakat dan perangkat-perangkat pemerintahan di Indonesia tidak setuju dengan bentuk negara federal. Namun, ada juga tidak sedikit yang tetap menginginkan Indonesia dengan bentuk negara federal.
Kondisi ini menimbulkan banyak pemberontakan-pemberontakan atau kekacauan-kekacauan yang terjadi saat itu. Ironisnya, pemberontakan yang dilakukan golongan tertentu itu mendapatkan dukungan dari Belanda. Mereka takut jika Belanda meninggalkan Indonesia, hak-haknya atas Indonesia akan hilang.
Ini yang dirasakan oleh Raymond Westerling. Mantan komandan Depot Speciale Troepen (Pasukan Khusus) KNIL dari negeri Belanda ini menghimpun kekuatan militer untuk mempertahankan bentuk negara federal di Indonesia. Dan akhirnya menyerang Bandung untuk melakukan pemberontakan.
Pemerintah RIS yang memiliki kekuatan militernya segera mengirimkan pasukan ke Kota Bandung untuk menumpas pasukan APRA. Tak hanya itu, jalur diplomasi juga dilakukan. Perdana Menteri RIS yang kala itu dipegang Mohammad Hatta menggelar perundingan dengan Komisaris Tinggi Belanda di Jakarta.
Hasilnya, Westerling didesak meninggalkan Kota Bandung. Pasukan APRA, yang dipimpin Westerling pun meninggalkan Kota Bandung pada sore harinya. Pasukan APRA semakin terdesak dan terus dikejar pasukan APRIS bersama rakyat. Akhirnya Gerakan APRA berhasil dilumpuhkan.
Setelah diusut, dalang gerakan APRA adalah Sultan Hamid II, seorang Menteri Negara pada Kabinet RIS. Rencana sebenarnya gerakan itu adalah menculik Menteri Pertahanan Keamanan, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Sekjen Pertahanan Mr Ali Budiardjo, dan pejabat Kepala Staf Angkatan Perang, Kolonel TB Simatupang.
Dengan keberhasilan pasukan APRIS menumpas Gerakan APRA, maka keamanan di wilayah Jawa Barat berhasil dipulihkan kembali.
Saksikan tayangan video menarik berikut ini: