Ali's Wedding, Gambaran Jenaka Multikulturalisme di Australia

Film Ali's Wedding secara jenaka menggambarkan kehidupan multikulturalisme yang terjadi di negara Australia saat ini.

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 18 Jan 2018, 19:45 WIB
Cuplikan film Ali's Wedding asal Australia - AP

Liputan6.com, Jakarta - Australia tengah gencar mengampanyekan isu multikulturalisme di berbagai medium, termasuk film. Salah satu karya sinema terkait yang berhasil meraih sukses adalah film Ali’s Wedding karya sutradara Jeffrey Walker.

Sebagian besar cerita film bergenre drama komedi ini terinspirasi dari kisah hidup pemeran utamanya, yang juga penulis skenario, Osamah Sami.

Ali's Wedding dijadikan film pembuka di Festival Sinema Australia Indonesia (FSAI) 2018 yang diadakan oleh Kedutaan Besar Australia Jakarta, pada Kamis (18/1/2018)

Jalinan cerita Ali's Wedding berpusat pada konflik batin di dalam diri Ali (Osamah Sami) akibat kebohongan besar yang dibuatnya. Ia mengaku berhasil diterima di Sekolah Kedokteran Universitas Melbourne, Australia, dengan nilai tertinggi di antara rekan sejawat di komunitasnya.

 

Karena prestasi yang direkanya, ia mendapat sanjungan tinggi dari keluarga dan komunitas Muslim yang dipimpin oleh ayahnya, seorang imigran asal Irak bernama Mehdi (Don Hany). Begitu besarnya rasa bangga itu membuat sang keluarga, dengan yakin, menjodohkan Ali dengan dengan seorang gadis Muslim, anak rekan ayahnya, bernama Yomna (Maha Wilson).

Perjodohan tersebut sejatinya tidak pernah diinginkan oleh Ali, tetapi terpaksa ia menuruti karena mengingat konsekuensi atas kebohongan yang akan berdampak pada keluarganya. Padahal di saat yang sama, Ali tengah dimabuk asmara oleh seorang gadis keturunan Lebanon bernama Dianne (Helena Sawires).

Pada akhirnya, Ali pun terjebak oleh rentetan drama akibat kebohonngan yang dibuatnya.

Secara keseluruhan, film ini menggambarkan 'anomali' terhadap gambaran kehidupan imigran Timur Tengah di Australia yang kerap terasosiasikan sebagai kehidupan konservatif oleh media.

Sikap liberal khas negeri sekuler diadopsi berdampingan dengan nilai-nilai konservatif yang dibawa dari tanah lelulur, menjadikan film ini unik, atau boleh dikatakan 'berani'.

Sayang, beberapa distorsi tampak di pertengahan cerita, sehingga menjadikan film ini mudah ditebak akhir ceritanya.

FSAI 2018 kali ini turut hadirkan ruang bagi sineas dan penikmat film untuk bersama mengapresiasi karya-karya sinema dari kedua negara. Festival yang  pernah digelar pada tahun 2011, 2016 dan 2017, diadakan dari tanggal 25 hingga 28 Januari 2018 di empat kota besar di Indonesia, yaitu Jakarta, Surabaya, Denpasar, dan Makassar.

Beberapa film yang akan tayang pada festival ini, di antaranya adalah Ali’s Wedding, Red Dog: True Blue, Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak, dan masih banyak lainnya.

 


Australia Fokus Mengampanyekan Isu Multikulturalisme

Ilustrasi kota Melbourne (iStock)

Multikulturalisme telah menjadi salah satu perhatian utama di Australia, setidaknya sejak Al Grassby, Menteri Bidang Imigrasi di era pemerintahan Perdana Menteri Gough Whitlam, menerbitkan sebuah Karya ilmiah bertajuk A Multi-Cultural Society for the Future pada 1973 silam.

Setelahnya, mengutip dari laman resmi Departemen Layanan Sosial Australia, pembahasan tentang isu terkait terus berkembang hingga bermuara pada penerbitan Multicultural Policy, sebuah aturan dasar tentang multikulturalisme dalam tata negara Australia, yang diterbitkan pada 2011 lalu.

Sejak itu, isu multikulturalisme kian luas dibahas di berbagai medium, tidak terkecuali melalui film. Berbagai cerita berlatar belakang komunitas imigran diangkat ke layar lebar dalam beragam sudut pandang.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya