Liputan6.com, Jakarta Tahun 1940, Inggris dilanda kepanikan luar biasa. Negara-negara tetangga sudah nyaris bertekuk lutut di hadapan tentara Nazi pimpinan Hitler. Tinggal menyeberang laut, tentara diktator ini dipastikan bakal langsung menguasai Inggris Raya.
Sementara di dalam negeri, keadaan juga tak kalah rusuh. Anggota dewan ramai-ramai melempar mosi tak percaya pada Perdana Menteri Neville Chamberlain (Ronald Pickup), yang dinilai tak becus memperhitungkan bahaya perang yang mengintai negara mereka.
Baca Juga
Advertisement
Neville Chamberlein terpaksa mundur. Namun sialnya, tak ada calon lain dari partainya yang didukung oleh partai oposisi. Hanya ada satu sosok yang didukung oposisi, tapi justru dihindari oleh teman-teman satu partainya. Ia, adalah Winston Churchill, pria keras kepala dengan cerutu yang terus-menerus nangkring dan berasap di mulutnya.
Lawan Sampai Titik Darah Penghabisan
Perkara Hitler, Winston Churchill cuma punya satu cara untuk menghadapinya: lawan! Ia menolak keras usulan diplomasi yang disampaikan oleh sejawatnya, Viscount Halifax (Stephen Dillane). Baginya, diplomasi dengan seorang diktator sama artinya dengan bunuh diri.
Masalahnya, situasi tampaknya tak kunjung berpihak pada Inggris. Tentaranya di medan perang terdesak di pesisir Dunkirk, terancam dengan serangan Nazi yang kapan pun bisa membumihanguskan mereka. Sementara teman dekat Inggris, Amerika Serikat, tak bisa membantu banyak.
Ini, adalah masa-masa terkelam dalam pemerintahan Winston Churchill.
Advertisement
Kocak
Meski merupakan film biopik seorang tokoh sejarah, jangan bayangkan The Darkest Hour sebagai film yang kelewat serius, apalagi membosankan. Sebaliknya, film garapan Joe Wright—sebelumnya menyutradarai Pride & Prejudice serta Atonement—ini begitu segar dan menyenangkan.
Mungkin, itu karena karakter Winston Churchill aslinya memang begitu nyentrik. Selain itu, Gary Oldman—yang meraih Golden Globes lewat perannya di film ini—menampilkan performa yang menawan.
Lihat saja bagaimana gaya canggung Churchill saat ia bertemu dengan Raja George VI (Ben Mendelsohn), yang sebenarnya tak terlalu menyukai Churchill. Atau hubungan panas-dinginnya dengan sang sekretaris muda (Lily James).
Dialog-dialog segar yang bertebaran sepanjang film ini juga mampu mengajak penonton untuk ikut tertawa.
Manusiawi
Tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam The Darkest Hour pun terasa begitu manusiawi dan memiliki kedalaman karakter yang kuat. Churchill, misalnya. Meski dari luar ia terlihat begitu keras kepala, ada kalanya ia memperlihatkan kerapuhan dan rasa bingung.
Begitu pula orang-orang di sekeliling Churchill. Sang istri, Clementine (Kristin Scott Thomas), memang tampak tegar dan tegas di hadapan suaminya. Namun di balik itu, ia juga memiliki rasa kesepian tersendiri.
Bahkan sosok Neville Chamberlein dan Viscount Halifax yang menjadi lawan politik Churchill pun tak digambarkan dengan negatif dalam film ini. Konflik antara tokoh-tokoh in lebih digambarkan karena adanya pertentangan cara pikir, yang argumennya sama-sama bisa dimengerti. Jadi bukan sekadar pergumulan antara karakter protagonis dan antagonis saja.
Penggambaran karakter seperti ini membuat penonton mudah jatuh simpati dengan tokoh-tokoh di film ini.
Advertisement
Tayang 19 Januari
The Darkest Hour yang disusun secara naratif, membuat penonton—termasuk yang awam dengan sejarah Inggris—mudah mengerti konteks sejarah dalam masa-masa awal pemerintahan Churchill.
Ditambah dengan pengemasan secara menarik, The Darkest Hour bisa menjadi salah satu pembuka ketertarikan penonton terhadap sejarah Perang Dunia II. Tapi tentu saja jangan menjadikan film ini sebagai patokan kebenaran sejarah.
Yang namanya film—meski berlandaskan sejarah—tak usah heran bila ada hal yang difabrikasi atau juga dilebih-lebihkan. Apalagi mengingat film ini meminjam perspektif dan suara dari Winston Churchill, dan membuat dirinya bagai pahlawan di akhir film ini.
The Darkest Hour, akan mulai ditayangkan secara luas di bioskop Indonesia pada Jumat (19/1/2018).