Liputan6.com, Purwokerto - Bangunan berbentuk kotak persegi panjang itu berdiri angkuh di tengah simpang tiga jalan timur Alun-Alun Purwokerto. Inilah bangunan yang disebut sebagai Makam Ragasemangsang, makam tua keramat di tengah jalan.
Letak makam ini berimpitan langsung dengan kompleks Pendopo Bupati Banyumas, tepatnya di Kelurahan Sokanagara, Purwokerto utara. Bentuknya mengingatkan kita pada benteng-benteng kuno masa lalu.
Bangunan berukuran sedang, sekitar 2,5 x 1,5 meter bertinggi 180 sentimeter itu gagah berdiri di persimpangan jalan. Meski berada di tengah kota, makam tua ini terkesan angker.
Baca Juga
Advertisement
Pintu kecil berukuran 70 sentimeter dengan atap melengkung berada di dinding selatan. Di dinding barat dan timur terdapat semacam lubang intai. Bagian atap tertutup rapat oleh cor yang dibangun pada masa pemerintahan Belanda.
Mengintip ke dalam makam tua tengah jalan, ada kembang tujuh rupa yang dialasi kertas koran. Bungan itu tampak masih segar. Kelihatannya, seseorang baru saja meletakkan di dalam makam keramat, pada dini hari atau saat pagi menjelang.
Tak terbilang pemerintah berupaya memindah makam keramat yang tentu mengganggu lalu lintas. Namun, upaya pemindahan makam tua itu selalu gagal. Pemborong atau bahkan petinggi daerah “diimpeni” atau bermimpi bertemu dengan penghuni makam yang tak mau dipindah.
Risiko bagi pemindah makam pun besar. Konon suatu ketika, seorang pekerja pingsan mendadak ketika menggali di seputaran area makam tua nan keramat di tengah jalan itu. Bahkan, konon, beberapa lainnya sakit mendadak dan akhirnya meninggal dunia.
Mitos Pertarungan Ragasemangsang dengan Kyai Pekih
Warga setempat, Karto Suwito (73), yang juga Ketua RT 03 RW 5 Kelurahan Sokanegara, bercerita tak diketahui pasti kapan makam itu dibangun. Yang pasti, sejak zaman penjajahan Belanda, bangunan itu telah ada.
Makam ini juga dikeramatkan. Para petinggi negeri yang ingin naik jabatan hingga bakul warung yang ingin dagangannya laris kerap bertapa, bersemedi, atau hanya menaburkan bunga dan meletakkan sesajian di tempat ini.
Pengeramatan makam ini tak lepas dari mitologi yang berkembang di tengah masyarakat Purwokerto dan sekitarnya. Karto Suwito yang tinggal kurang dari 100 meter dari makam di tengah jalan ini pun mengakui, setidaknya ada dua versi cerita.
Versi pertama, makam keramat tersebut adalah makam seorang tokoh sakti bernama Ragasemangsang. Saking saktinya, Ragasemangsang hanya bisa mati jika bagian tubuhnya dipotong menjadi beberapa bagian.
Itu pun belum cukup. Bagian tubuhnya sama sekali tak boleh menyentuh tanah. Oleh sebab itu, tubuhnya harus digantung agar tak menyentuh tanah.
Suatu hari, Ragasemangsang bertarung melawan seorang tokoh antagonis bernama Kyai Pekih. Ternyata, Kyai Pekih adalah tokoh yang juga memiliki kesaktian serupa.
Dalam pertarungan itu, Ragasemangsang berhasil mengalahkan Kyai Pekih. Maka, tubuh Kyai Pekih itu digantung di pohon beringin yang saat itu tumbuh di sekitar petilasan Ragasemangsang.
“Jadi, ini adalah makam Kyai Ragasemangsang yang dulunya adalah petilasan. Dulunya Kyai Pekih tubuhnya digantung di pohon dekat sini,” ucap Suwito mengisahkan, Selasa, 18 Januari 2018.
Advertisement
Kisah Penerbang yang Jatuh dari Pesawat
Mitos versi kedua, pada masa zaman penjajahan, terjadi peperangan di Purwokerto. Lantas, beberapa hari kemudian, ditemukan sesosok jasad nyangsang di pohon beringin besar.
Kemungkinan, tubuh yang ditemukan itu adalah jasad pejuang yang bersembunyi ketika terluka dalam perjuangan. “Kemudian dimakamkan di sini,” tuturnya.
Versi lainnya diceritakan oleh Kukuh Hasan Surya (28), warga Mersi, Purwokerto. Berkebalikan dengan cerita versi Karto Suwito, Kukuh justru mendengar bahwa Ragasemangsang adalah tokoh antagonis.
Ceritanya, Ragasemangsang adalah penjahat, garong, bromocorah yang kerap membuat onar. Namun, ia sakti sehingga tak ada yang bisa mengalahkannya. Ia hanya bisa mati jika tubuhnya digantung tanpa menyentuh tanah.
Lantas, seorang lakon protagonis bernama Kyai Pekih mengalahkan Ragasemangsang. Kemudian tubuhnya digantung di pohon beringin yang letaknya berada di dekat alun-alun. Ragasemangsang dimakamkan di bawah pohon beringin yang kini menjadi jalan.
“Kyai Pekih sendiri dimakamkan di pemakaman di Jalan Pekih, barat Alun-alun. Jadi makam Kyai Pekih memang ada,” Kukuh menjelaskan.
Versi lain yang dikisahkan Kukuh lebih mewakili kids zaman now. Ceritanya pada masa perjuangan kemerdekaan, ada seorang pejuang yang jatuh menyangkut di pohon beringin alun-alun.
Saat diturunkan, ia sudah meninggal. Sebab itu, pejuang itu disebut sebagai Ragasemangsang, atau tubuh yang menyangkut. Lantas jasadnya dikebumikan di makam tengah jalan. Cerita itu juga dibumbui dengan kepahlawanan dan keberanian pemuda zaman kemerdekaan.
Makam Ragasemangsang Bakal Diajukan Jadi Cagar Budaya
Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pemuda dan Olahraga Budaya dan Pariwisata (dinpoarbudpar) Banyumas, Deskart Sotyo Jatmiko, tak bisa memastikan mana versi cerita yang benar.
Namun, ia memastikan bahwa cerita-cerita itu memang berkembang di tengah masyarakat sejak zaman dulu. Dinporabudpar berencana mengajukan bangunan makam Ragasemangsang sebagai cagar budaya.
“Kami akan mengkaji cerita-cerita yang berkembang di tengah masyarakat. Kemudian, ada kemungkinan untuk mengajukan makam Ragasemangsang sebagai cagar budaya,” dia menegaskan.
Terlepas dari benar dan tidaknya beragam cerita yang berkembang di tengah masyarakat, dia pun mengakui bahwa masyarakat Jawa, termasuk Banyumas, dilingkupi dengan mitologi-mitologi yang membawa pesan atau nilai tertentu.
Bangunan itu nyatanya telah menjadi artefak ratusan tahun dan saksi bisu perkembangan sebelum pendopo kabupaten dipindah dari Banyumas ke Purwokerto. Sebab itu, makam Ragasemangsang patut untuk menjadi cagar budaya.
Advertisement