Liputan6.com, Jakarta Petani tembakau resah seiring terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 84 (Permendag 84) Tahun 2017 tentang Ketentuan Impor Tembakau membuat resah. Beleid yang mulai diberlakukan pada 8 Januari 2018 tersebut justru berpotensi meredupkan mata pencahariannya.
Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Soeseno mengaku tidak memahami keputusan penerapan aturan pengetatan impor tembakau. Sebab jenis-jenis tembakau yang masuk dalam daftar pengetatan impor justru paling dibutuhkan dalam komposisi rokok. Jenis-jenis tembakau itu adalah virginia, burley, dan oriental.
Baca Juga
Advertisement
“Kami sangat heran dengan adanya aturan ini, kenapa justru virginia, burley, dan oriental yang dibatasi jumlah impornya. Padahal di Indonesia produksinya masih terbatas. Untuk yang jenis oriental malah tidak bisa diproduksi di sini, sehingga harus diimpor dari Timur Tengah,” ujar dia di Jakarta, Kamis (18/1/2018).
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian tahun 2015, luas areal tanaman tembakau virginia hanya 28.949 hektar. Luas lahan ini setara dengan 13,38 persen dari total luas areal pertanian tembakau di Indonesia.
Sementara produksinya hanya 38.371 ton atau hanya 19,8 persen dari total produksi tembakau nasional. Untuk tembakau jenis burley, areal dan produksinya lebih kecil lagi. Luas lahan tembakau jenis ini paling banyak tersebar di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.
Dengan total luas areal tanam sebesar 997 hektar, produksinya hanya mencapai 1.417 ton. Adapun untuk jenis oriental, kata Soeseno, di Madura hanya mampu menghasilkan tembakau jenis semi oriental.
“Kondisi geografis yang cocok untuk jenis oriental itu berada di pegunungan kapur seperti di Turki,” lanjut Soeseno.
Untuk sebatang rokok, kata Soeseno, dibutuhkan 7 sampai 17 komposisi jenis tembakau. Kalau salah satu komponen dikurangi takarannya, maka akan berdampak dengan yang lainnya.
Dia menggambarkan tembakau jenis virginia itu laiknya nasi, sementara tembakau lokal adalah lauknya. Pengurangan komposisi akan mempengaruhi kualitas.
“Pabrikan rokok punya formulanya masing-masing, tapi kalau satu komponen berkurang, yang lainnya juga harus dikurangi. Serapan tembakau dari petani lokal yang nantinya juga akan terganggu,” ujar dia.
Saat ini, Soeseno melanjutkan, kebutuhan tembakau di Indonesia sebesar 300.000 ton. Adapun produksi nasional hanya 200.000 ton.Untuk mengurangi ketergantungan dari impor, dia menyarankan pemerintah pusat untuk memberikan insentif kepada para petani tembakau.
“Seharusnya Indonesia bisa meniru Amerika Serikat, Vietnam, dan Korea Selatan yang sangat membantu keberadaan petani tembakau lokalnya,” kata dia.
Insentif yang dapat dilakukan pemerintah, menurut Soeseno, dengan cara memberikan subsidi listrik. Langkah ini yang dilakukan pemerintah Korea Selatan untuk mendukung para petani tembakau lokal mereka.
“Proses pengovenan tembakau di sana sangat canggih. Hasil tembakau dimasukkan ke dalam oven besar lalu dialiri listrik sehingga hasilnya lebih bagus. Kami pernah coba dengan menggunakan kayu uli, tapi cara ini ditolak oleh Kementerian Pertanian. Namun kami tetap tidak juga diberi insentif,” ujarnya.
Putus Mata Rantai
Ketua Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), Budidoyo, menilai Permendag 84 Tahun 2017 yang diterbitkan tersebut merupakan niatan baik dari pemerintah. Namun yang justru dibutuhkan para petani tembakau adalah semakin pendeknya mata rantai tata niaga.
“Sekarang ini masih panjang sekali mata rantainya dan banyak lapisannya. Kondisi ini yang tetap membuat para petani tembakau susah,” ujarnya.
Pemerintah, menurut Budidoyo, tidak fokus dengan permasalahan ini. Adapun cara untuk memutus mata rantai tata niaga yang panjang adalah dengan membangun kemitraan antara petani tembakau dan pabrikan rokok.
“Cara kemitraan ini malah sudah dilakukan beberapa pabrikan rokok besar dengan menyerap tembakau lokal langsung dari petani,” ujarnya.
Hingga saat ini, Permendag 84 Tahun 2017 tersebut belum terlaksana. Soeseno mengatakan, berdasarkan informasi yang diperolehnya, beleid tersebut ditahan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
“Saya mendengar kalau ini di-suspend di Kemenko Perekonomian. Ada sesuatu permasalahan mungkin lantaran banyak diprotes,” tutup Soeseno.
Advertisement