RI Bakal Suplus Beras pada Maret-April 2018

Puncak panen raya beras akan terjadi pada Maret dan diprediksi menghasilkan 7,4 juta ton.

oleh Septian Deny diperbarui 19 Jan 2018, 10:33 WIB
Pekerja memilih beras di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, Senin (15/1). Wagub Sandiaga Uno mengatakan Pemprov DKI akan selalu membeli beras Sulawesi dan Banten karena lebih memprioritaskan beras dari petani. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Liputan6.com, Jakarta - Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia (Pispi) memperkirakan akan ada produksi beras hingga mencapai 12 juta ton pada musim panen Maret-April 2018. Dengan demikian, pada musim panen tersebut akan terjadi suplus beras.

Ketua Dewan Pengawas PISPI Salman Dianda Anwar mengatakan, puncak panen raya beras akan terjadi pada Maret yang diprediksi menghasilkan 7,4 juta ton. Kemudian masih akan berlanjut hingga April sebesar 5,5 juta ton.

"Jika diakumulasikan, kebutuhan beras rumah tangga 2 juta sampai 2,5 juta ton per bulan ditambah kebutuhan industri. Ini menunjukkan adanya surplus beras," ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (19/1/2018).

Selain itu, ucap dia, seharusnya persediaan beras tidak berkurang di awal tahun. Hal ini karena Bulog masih memiliki persedian beras di gudang sebesar 800 ribu ton sampai 900 ribu ton.

"Persediaan ini untuk menstabilkan harga beras sampai pertengahan Februari di awal masa panen raya padi," tutur dia.

Sebelumnya, mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli ikut angkat bicara soal data pangan, khususnya beras yang selama ini selalu disebut suplus.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 


Ada Banyak Data Beras

Pekerja mengambil karung beras di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, Senin (15/1). Wagub Sandiaga Uno mengatakan Pemprov DKI akan selalu membeli beras Sulawesi dan Banten karena lebih memprioritaskan beras dari petani. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Rizal mengungkapkan, data pangan sebenarnya ada bermacam-macam, yaitu dana Badan Pusat Statistik (BPS), data Kementan, data Kementerian Perdagangan (Kemendag), data Perum Bulog. Sejak dulu, kata dia, yang selalu tidak sinkron yaitu data Kementan dengan data Kemendag dan Perum Bulog.

‎‎"Dari dulu soal beras, kan, masalah puluhan tahun. Data itu macam-macam, data BPS, data Kementan, data Kemendag, data Bulog. Kalau data Kementan cenderung berlebihan, maksudnya kadang-kadang terlalu tinggi. Dari zaman menteri pertanian dulu juga begitu, karena terkait dengan prestasi dia," ujar dia di Food Station Tjipinang, Jakarta.

Namun sebaliknya, data Kemendag dan Bulog selalu menyatakan kekurangan stok beras. Sebab, ada kepentingan untuk melalukan impor guna mencari keuntungan.

"Tapi data dari Kemendag, Bulog selalu kekurangan banyak, karena mereka motifnya mau impor. Dan sering ada permainan kalau impor, ada komisi US$ 20-US$ 30 per ton," kata dia.

Dalam kondisi seperti ini, ujar Rizal, harusnya Menteri Koordinator Bidang Perekonomian yang memutuskan data mana yang akurat. Dengan demikian, kebijakan yang diambil sesuai dengan kondisi di lapangan dan terkoordinasi dengan baik.

"Dalam kenyataan, data yang benar itu yang di tengah, data Kementan dengan data Kemendag dan Bulog itu di tengah. Harusnya tugas Menko Perekonomian untuk menentukan data yang benar. Tapi saya tidak mengerti ke mana saja Menko Perekonomian, sehingga soal begini yang putusin Wakil Presiden. Harusnya cukup ada level menko untuk menentukan data itu. Nah, berdasarkan data yang benar itu baru diambil tindakan jika diperlukan," ucap dia.

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya