Ketua DPRD: Rumah DP 0 Rupiah Itu Bukan untuk Masyarakat Miskin

Skema pembayaran Rumah DP 0 Rupiah dinilai terlalu tinggi. Hal itu tidak sesuai dengan upah minimum di DKI.

oleh Delvira Hutabarat diperbarui 19 Jan 2018, 15:05 WIB
Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi

Liputan6.com, Jakarta - Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi mengkritik realisasi Rumah DP 0 Rupiah. Ia menilai harga jual yang dipatok terlampau tinggi. Alhasil, hanya masyarakat berpenghasilan menengah yang bisa mengaksesnya.

"Sayangnya harga yang dijual jauh lebih tinggi, sehingga tidak bisa dijangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah," kata Prasetio saat dihubungi, Jumat (19/1/2018).

Ia mengatakan, rumah DP 0 Rupiah mirip dengan program satu juta rumah Presiden Joko Widodo. Bedanya, lanjut politikus PDIP ini, harga jual rumah DP 0 Rupiah lebih tinggi.

"Kalau lihat dari skemanya mirip sama program sejuta rumah Jokowi," katanya.

Prasetio menilai, rusun DP 0 itu diperuntukkan untuk masyarakat kelas menengah, bukan masyarakat miskin Jakarta. Skema cicilan pembayaran rusun DP 0 Rupiah sendiri Rp 1,5 juta-2,6 juta.

"Artinya pendapatan minimal Rp 4,5 juta. Sedangkan UMR DKI Rp 3,6 juta. Jadi rusunami DP 0 Rupiah itu bukan untuk masyarakat berpenghasilan rendah, tapi kelas menengah," katanya

 

 


Harga Jual

Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Diketahui, rusun DP 0 dengan tipe 36 dibanderol harga Rp 320 juta. Sedangkan tipe 21 seharga Rp 185 juta. Prasetio membandingkan dengan program rumah Jokowi.

"Sedangkan jual rumah (Jokowi) Rp 100 juta sampai Rp 135 juta untuk rumah tapak. Cicilan yang harus dilunasi oleh masyarakat hanya Rp 825 ribu sampai Rp 1,1 juta per bulan," ucapnya

Selain itu, Pras menyebut rencana Anies menanggung bunga KPR 5 persen lewat APBD sudah melanggar peraturan.

"Gubernur mungkin perlu buka aturan lagi. Kepala daerah dilarang menganggarkan program melampaui masa jabatannya. Itu melanggar Permendagri," ia berujar.

Ia merujuk Permendagri No. 21/2011 sebagai perubahan kedua Permendagri No. 13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Pada Pasal 54A ayat (6) Permendagri itu disebut penganggaran kegiatan tidak boleh melampaui akhir tahun masa jabatan kepala daerah.

"Kepala daerah enggak bisa bikin program yang pembiayaannya sampai 20 tahun,” ujar Prasetio.

Saksikan Video Pilihan di Bawah ini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya