Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Herman Khaeron meminta pemerintah mengevaluasi kembali efektivitas kebijakan holding yang telah dibentuk.
Dengan demikian, diharapkan masalah yang muncul pada holding yang telah dibentuk sebelumnya tidak kembali terulang. Dia mencontohkan, masalah pada holding semen yang masih kesulitan dalam hal konsolidasi, meskipun holding tersebut sudah dilangsungkan dari 2012.
Dampaknya kebijakan holding tidak mampu meningkatkan kemampuan keuangan hingga tujuan holding untuk ekspansi usaha tidak berjalan sesuai rencana.
"Holding harus didasarkan pada kajian yang objektif dan komperhensif. Jangan didasarkan atas kepentingan-kepentingan tertentu," ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (19/1/2018).
Baca Juga
Advertisement
Sementara itu, lanjut dia, pada holding tambang telah resmi terbentuk sejak November 2017, ada anak usaha holding tambang memiliki saham dwiwarna sehingga tetap menjadikanya perusahaan BUMN. "Ini menjadi kendala konsolidasi dari aspek akuntan," lanjut dia.
Karena jika dipaksakan, kata Herman, maka akan bertentangan dengan kaidah Peraturan Standar Akuntansi 65 (PSAK 65) dalam neraca laporan keuangan. Sedangkan PSAK 65 juga terintegrasi atau merefer ke International Financial Reporting Standart (IFRS).
"Kalau perusahaan sehat, kenapa mesti di-holding-kan? Holding itu menambahkan beban struktur, malah tidak bagus nanti. Biarkan dia berkompetisi dengan suasana sehat," ungkap Herman.
Sementara itu, pengamat ekonomi akuntansi dari Universitas Indonesia, Ratna Wardhani, menyatakan dengan kebijakan holding ini, bukan tidak mungkin terjadi proses kanibalisasi antarperusahaan BUMN. Hal yang dikhawatirkan, yaitu perusahaan yang selama ini sehat bisa menjadi perusahaan sakit.
"Pada bisnis prosesnya tidak gampang, bisa perusahaan yang sehat digabung dengan yang sakit malah menjadi sakit semua perusahaannya," ujar dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
DPR Minta Pemerintah Tunggu UU Buat Holding Migas
Sebelumnya, pemerintah diminta untuk tidak terburu-buru untuk membentuk holding migas. Pembentukan holding tersebut setidaknya harus menunggu rampungnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Migas.
Anggota Komisi VII DPR, Eni Maulani Saragih, mengatakan, pemerintah harusnya menunggu rampungnya pembahasan RUU migas yang sedang digodok oleh DPR. Hal ini agar tata kelola kelembagaan migas dapat diperbaiki secara holistik dan tidak terjadi kerancuan.
"Mestinya tunggu dulu penyelesaian UU, baru kemudian holding. Selain itu juga, holding perlu persetujuan DPR. Meskipun niat dan tujuan holding itu baik, kalau tidak ada pengawas dari DPR, itu bahaya," ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat 19 Januari 2018.
Menurut dia, jika pembentukan holding ini tidak mampu mengonsolidasikan nilai aset, maka tujuan holding untuk memperbesar neraca keuangan sebagai jaminan mendapatkan tambahan modal akan tidak tercapai.
"Dengan demikian, ekspansi usaha yang diharapkan tidak terjadi dan bisnis perusahaan hanya berjalan seperti biasanya," kata dia.
Selain itu, DPR juga mempertanyakan pembentukan holding pertambangan yang telah resmi dibentuk. Dalam hal ini, PT Inalum menjadi induk dari holding tersebut.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VI DPR Inas Nasrullah Zubir menyatakan pembentukan holding pertambangan yang mengalihkan saham milik pemerintah dari PT Aneka Tambang (Antam) Tbk sebesar 65 persen, PT Bukit Asam (PT BA) Tbk sebesar 65,02 persen, PT Timah Tbk sebesar 65 peren, kepada PT Inalum (Persero) berpotensi tidak bisa dikonsolidasikan.
Menurut dia, hal ini lantaran terkendala dengan saham istimewa pada anak usaha holding. Sebagaimana diketahui, setelah saham pemerintah dialihkan kepada induk holding, dalam hal ini Inalum, maka secara otomatis PT Timah, Antam dan PT BA menjadi anak perusahaan Inalum.
"Namun pemerintah tidak mengalihkan semua sahamnya dari anak holding, melainkan menyisakan sebagian kecil saham untuk mempertahankan statusnya sebagai perusahaan BUMN," kata dia.
Jika seperti ini, lanjut Inas, maka pemerintah telah bertindak tidak adil pada pemilik saham mayoritas. Sebab, sekecil apa pun saham pemerintah pada anak perusahaan holding (saham istimewa) akan mampu mengintervensi anak perusahaan tersebut.
"Ini tentu kesewenang-wenangan, misalkan satu persen saja saham pemerintah pada anak perusahaan holding, pemerintah bisa mengintervensi kebijakan pada anak perusahaan itu. Padahal, di situ terdapat saham publik. Nah aturan itu mengacu ke mana, sebab dalam UU tidak ada," tandas Inas.
Advertisement