Liputan6.com, Washington, DC - Menurut data yang dilansir oleh Badan Kelautan dan Atmosfer Nasional (NOAA) Amerika Serikat (AS), tahun 2017 adalah tahun terpanas ketiga setelah 2016 dan 2015.
Dilansir dari laman The Verge, kecenderungan suhu Bumi dalam jangka panjang meningkat 1,1 derajat Celcius dalam tiga tahun terakhir, beberapa tingkat lebih tinggi dari suhu sebelum terjadinya Revolusi Industri pada Abad ke-18.
Baca Juga
Advertisement
Pernyataan NOOA tersebut sedikit berbeda dengan laporan yang dikeluarkan oleh NASA, yakni rata-rata peningkatan suhu Bumi tercatat meningkat sebanyak 0,90 derajat Celcius. Meski kedua lembaga sama-sama menyimpulkan satu hal: Bumi makin panas.
Kenaikan suhu Bumi, menurut NASA, berdampak pada terjadinya beragam anomali cuaca di banyak tempat d penjuru dunia, termasuk paling terakhir adalah badai bom siklon yang melanda kawasan pantai timur AS.
NASA mengatakan lewat Twitter, tahun 2017 merupakan tahun terpanas kedua di Bumi, "melanjutkan tren pemanasan ke-17 dari 18 tahun terpanas dalam satu dekade sejak tahun 2001."
Tren Pemanasan Global Terus Terjadi Sejak 2010
Meski sedikit berbeda, baik NASA maupun NOAA punya kesimpulan yang sama bahwa tren pemanasan global terus terjadi setelah tahun 2010.
Dalam satu abad terakhir, tercatat kenaikan suhu Bumi rata-rata lebih dari 1 derajat Celcius. Kenaikan ini utamanya disebabkan oleh tidak terkendalinya emisi karbon dioksida dan gas buang lainnya, hasil aktifitas manusia yang merusak atmosfer.
Tren pemanasan global paling terlihat dampaknya di kawasan Arktik atau Kutub Utara, yang selama satu dasawarsa terakhir kerap dilaporkan kehilangan cukup banyak volume es setiap tahunnya.
Begitupun juga kawasan Antartika di belahan bumi selatan, yang meskipiun mengalami pencairan es lebih sedikit, namun tetap dianggap mengkhawatirkan, khususnya terkait dampaknya pada kenaikan permukaan laut.
Advertisement