Liputan6.com, Jakarta - Bangkai orangutan itu ditemukan mengambang di sungai. Kondisinya sungguh mengenaskan, tanpa kepala, tangan nyaris putus, bulu di sekujur tubuh rontok, kulitnya pun licin. Sampai-sampai warga yang menemukannya mengira, itu adalah jasad manusia.
Hasil autopsi yang dilakukan menunjukkan, orangutan jantan itu tak mati dengan wajar. Ia korban pembunuhan dengan siksaan.
Advertisement
"Pada bagian leher ditemukan lebih tiga luka yang disebabkan oleh benda tajam sehingga leher putus atau tebasan," kata Ramadhani, Manager Perlindungan Habitat Centre for Orangutan Protection (COP), yang terlibat dalam otopsi, seperti dikutip dari situs orangutanprotection.com, Senin (22/1/2018).
Ditemukan pula 17 peluru senapan angin yang bersarang di tubuh korban -- yang menembus jantung, paru-paru dan lambungnya.
Bukti-bukti itu mengarahkan pada tersangka utama dalam kasus tersebut: manusia.
Orangutan itu diduga kuat adalah korban jiwa dalam konflik yang melibatkan hewan primata itu dengan manusia. Apalagi, lokasi temuan bangkai berada di dekat kebun kepala sawit.
Orangutan yang dimutilasi bukan satu-satunya korban konflik dengan manusia.
Manajer Perlindungan Habitat COP, Ramadhani mengatakan, kasus pembunuhan terhadap orangutan terus berulang.
Sejak 2011, dari 11 kasus yang ditemukan, 18 orangutan mati tidak wajar di Kalimantan Tengah.
"Dari 11 kasus ini sampai yang minggu kemarin itu, hanya satu yang maju pengadilan. Kenapa terus berulang? Karena efek jeranya tidak ada. Baru satu kasus pembunuhan orangutan yang diusut tuntas sampai diberi putusan hukum," sesal Ramadhani saat dihubungi Liputan6.com.
Saksikan juga video orangutan menarik berikut ini:
Orangutan Dianggap Hama
Foto ini pernah mendunia pada 2012: induk orangutan yang sedang hamil memeluk erat anaknya, menjadikan tubuhnya sebagai tameng, di tengah kepungan para pemburu suruhan perusahaan kelapa sawit.
Untungnya, tim dari organisasi perlindungan binatang yang berbasis di Inggris, Four Paws, datang tepat waktu menyelamatkan mereka dari pembantaian.
Foto itu mewakili ribuan kata tentang konflik antara orangutan dan manusia.
Pendiri dan koordinator Jakarta Animal Aid Network, Femke Den Haas, mengatakan, pembantaian terhadap orangutan erat kaitannya dengan pembukaan lahan untuk industri kelapa sawit.
Orangutan kesulitan mencari habitat dan sumber pangan karena terus terkikis oleh pembukaan lahan baru untuk sawit.
"Orangutan kan pasti akan berkeliaran di dalam kebun sawit karena dia sangat kelaparan dan mencari makanan apa pun yang ada. Nah, di kebun-kebun sawit memang enggak ada apa pun yang bisa dimakan selain pohon yang baru tumbuh ditanam karena daun-daunnya masih muda. Jadi itu yang dimakan orangutan," papar Femke kepada Liputan6.com.
Menurut Femke, perusahaan kelapa sawit sering kali menginstruksikan pegawainya untuk membunuh orangutan.
Hewan itu dianggap hama yang mengganggu tunas kelapa sawit. Di sisi lain, karyawan kerap kali tidak tahu, atau tak peduli bahwa orangutan adalah satwa yang dilindungi.
Femke mengakui pemerintah memang belum serius menanggapi kasus pembantaian fauna yang populasinya terancam punah ini.
Wanita berkebangsaan Belanda itu menilai pemerintah terlibat konflik kepentingan dalam melindungi satwa endemik maupun hutan di Indonesia. "Pemerintah kurang tegas karena di satu sisi melindungi ekonomi, di satu sisi ada aturan untuk melindungi satwa, tetapi mengalah dengan ekonomi," beber Femke.
Kepala Balai Konservasi Sumber Data Alam (BKSDA) Kalteng, Adidas Gunawa mengatakan, bukan hanya orangutan yang kehilangan habitat akibat ulah manusia.
"Kita lihat banyak saat ini banyak buaya yang masuk ke permukiman warga atau ditangkap warga akibat tempat hidup mereka menyempit," kata dia.
Advertisement