Liputan6.com, Jakarta - Harga daging sapi segar di pasaran konsisten tinggi yaitu berada di kisaran lebih dari Rp 100 ribu per kilogram (kg). Banyak hal yang menyebabkan harga daging sapi segar terus tinggi, salah satunya adalah panjangnya rantai distribusi daging sapi.
Kepala Bagian Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hizkia Respatiadi mengatakan, daging sapi lokal melewati tujuh hingga sembilan tahapan sebelum sampai di tangan konsumen.
Proses distribusi dimulai dari peternak. Mereka menjual sapi langsung kepada pedagang setempat yang berskala kecil atau melalui tempat penggemukan sapi (feedlot) yang memberi makan sapi secara intensif untuk meningkatkan bobot sapi dan nilai jual.
"Setelah itu, sapi dijual lagi ke pedagang setempat berskala besar dengan menggunakan jasa informan untuk mendapatkan harga pasar yang paling aktual." ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin (22/1/2018).
Baca Juga
Advertisement
Proses masih berlanjut, dari pedagang skala besar di daerah sapi dijual lagi ke pedagang regional, yang wilayah dagangnya meliputi beberapa kabupaten, provinsi dan sejumlah pulau kecil.
Tahap selanjutnya sapi kembali dijual ke pedagang yang ada di penampungan ternak (holding groud). Tahapan ini berfungsi sebagai area transit ketika mereka menunggu pedagang grosir dari Rumah Potong Hewan (RPH) untuk memilih hewan ternak yang akan dibeli dan dipotong.
"Lalu daging sapi yang dihasilkan dapat dijual langsung ke pedagang grosir berskala besar di pasar atau melalui tengkulak yang membantu pedagang di RPH untuk mendapatkan pembeli,” lanjut dia.
Tahapan selanjutnya adalah menjual daging sapi ke pedagang grosir berskala kecil. Merekalah yang menjual daging sapi ke pedagang eceran di pasar tradisional atau supermarket, sebelum akhirnya sampai di tangan konsumen.
“Pemerintah memandang solusi untuk memotong rantai distribusi adalah dengan menyerahkan prosesnya ke badan-badan pemerintah. Padahal kalau pemerintah mau menangani semua proses distribusi daging sapi, maka pemerintah juga harus siap menanggung seluruh biaya terkait transportasi,” jelas Hizkia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Biaya Transportasi Tinggi
Hizkia meneruskan, dalam kondisi seperti ini, proses distribusi daging sapi yang melibatkan pemerintah sebagai pelakunya akan menghabiskan anggaran negara yang tidak sedikit.
Sebagai ilustrasi, dapat dilihat dari proses distribusi daging sapi di Jawa Barat yang merupakan provinsi dengan tingkat konsumsi daging sapi tinggi dan Jawa Timur yang merupakan provinsi penghasil daging api terbesar di Indonesia, mengacu pada data Badan Pusat Statistik pada 2017 lalu.
Biaya transportasi untuk distribusi daging sapi di Jawa Barat adalah Rp 1.284, 29 per kg. Sementara itu biaya distribusi daging sapi adalah Rp 445,83 per kg di Jawa Timur.
Hal ini disebabkan adanya jarak yang deka tantara para pelaku di tahap produksi yaitu peternak dengan para pelaku distribusi yaitu pedagang yang membawanya hingga ke tingkat konsumen di Jawa Timur.
Dengan menggunakan angka ini, lanjut Hizkia, maka dapat diperkirakan rata-rata biaya transportasi rantai distribusi daging sapi di Indonesia adalah Rp 1.004,81 per kg.
Dengan perhitungan kebutuhan nasional yang mencapai 709.540 ton di tahun 2017, maka pemerintah harus menyiapkan uang sebesar Rp 713 miliar atau setara dengan US$ 52,8 juta untuk biaya transportasi untuk menjangkau wilayah Indonesia.
“Kami mendorong pemerintah untuk menyederhanakan regulasi dan tahapan terkait rantai distribusi daging sapi. Lebih penting lagi, kita perlu memanfaatkan perdagangan internasional melalui impor. Daging sapi impor memiliki jalur distribusi yang lebih pendek. Harga daging sapi internasional juga lebih murah dari daging sapi lokal,” jelasnya.
Advertisement
Tolak Impor Daging Kerbau
Sebelumnya, Dewan Pimpinan Pusat Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) menolak rencana pemerintah melalui Perum Bulog untuk mengimpor 100 ribu ton daging kerbau dari India. Pasalnya, kebijakan tersebut lebih membawa kerugian dibanding keuntungan.
Ketua Umum DPP PPSKI Teguh Boediyana berpendapat, mahalnya harga daging sapi karena kesalahan pemerintah sebelumnya yang gagal mewujudkan swasembada daging sapi.
"Pertama, akibat kegagalan pemerintah mewujudkan swasembada daging sapi mulai era Pemerintahan Presiden SBY. Program swasembada daging sapi 2010 dan dilanjut program swasembada daging sapi 2014 telah gagal. Implikasinya adalah 50 persen pemenuhan daging sapi (sekitar setara 250 ribu ton) harus diimpor," kata dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu (21/1/2018).
Sementara itu, impor harga daging sapi sendiri dipengaruhi oleh nilai tukar dolar terhadap rupiah. "Apabila nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat masih pada kisaran di bawah Rp 12.000, dipastikan harga daging bisa di bawah Rp 80 ribu per kg," ujar dia.
"Jadi sangatlah tidak adil kegagalan pemerintah sekarang ditimpakan kepada peternak sapi dan kerbau lokal dengan mengimpor daging yang murah," tambah dia.
Di samping itu, dia melanjutkan, kebijakan impor daging ruminansia dari negara atau zona yang belum bebas penyakit mulut dan kuku bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Itu juga berisiko terhadap kesehatan.
"Masih dalam konteks keadilan, apabila kebijakan impor daging kerbau dengan alasan harga murah, maka kebijakan tersebut harus diterapkan pula untuk komoditas pertanian lain seperti beras, jagung dan lain-lain yang harganya lebih murah dibandingkan dengan produksi dalam negeri," ungkapnya.
Sebab itu, DPP PPSKI mengimbau kepada pemerintah untuk meninjau kembali rencana importasi daging kerbau yang menekan peternakan sapi lokal.
"Dipastikan pula bahwa kebijakan impor daging kerbau yang dianggap murah ini sangat kontradiktif dengan target swasembada daging sapi yang dicanangkan akan dicapai di tahun 2024," tutup dia.