Liputan6.com, Washington - Ribuan kaum hawa di berbagai negara turun ke jalanan pada hari Minggu.
Mereka meyerukan kesetaraan gender di dunia politik dan ekonomi, keadilan, serta diakhirinya pelecehan seksual. Inilah Women's March kedua, yang diklaim sebagai yang terbesar dari tahun lalu.
Advertisement
Mengutip surat kabar New York Times, Minggu (21/1/2018), Women's March di Amerika Serikat dibarengi dengan peringatan satu tahun kepemimpinan Presiden Donald Trump.
Meski fokus demo memang ditujukan kepada Trump, namun persoalan mengenai hak-hak perempuan juga diseret di dalamnya.
Misalnya saja pengusutan tuntas kasus pelecehan seorang karyawati di tempat kerja -- yang dinilai "hilang ditelan Bumi" dan tak ada kejelasan setelah satu tahun laporan korban -- dan pelecehan seksual terhadap atlet Olimpiade wanita.
"Aksi ini bukan hanya melawan Trump," kata Lily Manning, perempuan 23 tahun yang bergabung dalam Women's March bersama ibunya di Paris, Prancis, di seberang Menara Eiffel. Meski saat itu hari sedang hujan dan udara begitu dingin.
Manning mencatat, selain Women's March, ada sebuah gerakan yang juga menyoroti hak-hak perempuan, yakni #MeToo.
"Kami memiliki lebih banyak platform dan semua orang mendengarkannya," imbuhnya.
Rebecca Park, warga Amerika Serikat berusia 29 tahun yang bekerja di sebuah yayasan sejarah seni di Paris, mengaku bahwa dia tak terima Trump terpilih menjadi presiden Amerika Serikat, ketika ikut dalam demonstrasi tahun lalu.
"Kali ini, tujuan saya adalah untuk menyalurkan kesedihan dan rasa amarah yang masih terpendam pada tahun lalu, mengubahnya menjadi sesuatu yang produktif," ungkap Park.
Sementara itu di London, juru bicara Women's Equality Party, Harini Iyengar, juga terlihat berada di tengah-tengah aksi demo tersebut.
Meski partai politik ini baru didirikan beberapa tahun lalu, namun Women's Equality Party tumbuh dengan cepat di Inggris.
"Plakat saya mengatakan, 'Kami telah berdemo selama 100 tahun', tapi nyatanya setelah 100 tahun kami masih belum mencapai kesepakatan politik untuk mengakhiri kekerasan seksual terhadap perempuan dan remaja atau pelecehan seksual di tempat kerja di Inggris," tegasnya.
Demonstran lain, Hannah Mudd (19), menyampaikan bahwa dirinya ikut aksi tahun ini karena termotivasi oleh Women's March tahun lalu di Amerika Serikat.
"Gerakan seperti itu sangat menginspirasi. Saya benar-benar menangis. Solidaritas ternyata tidak berdiri sendiri," ucap Mudd.
Aksi di Negara-Negara Eropa
Ribuan orang turun ke sejumlah ruas jalan di ibukota Eropa pada hari Minggu, di antaranya Berlin, Paris dan London. Mereka tergabung dalam gerakan Women's March.
Tahun lalu, pasca demonstrasi dilakukan di seluruh Amerika Serikat dan di seluruh dunia, termasuk di Roma, Sydney dan Buenos Aires, kini saatnya Eropa turun tangan.
Demonstran menentang sejumlah isu, termasuk perbedaan gaji karena gender dan ketidakadilan di Timur Tengah. Tampaknya, isu ini ditujukan kepada satu orang saja, yakni Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Di Berlin, sekitar 500 orang -- termasuk warga Amerika, Jerman, Palestina, Israel dan Finlandia -- menggelar aksi damai di dekat bangunan ikonik Brandenburg Gate, sembari membentangkan spanduk bertuliskan perlawanan terhadap xenofobia dan kesesatan (misogyny).
"Aku adalah seorang seniman dari Berlin dan aku berdiri di sini karena kebanyakan museum di Jerman dijalankan oleh pria. Kami, seniman perempuan, tak diizinkan terlibat di dalamnya," kata seorang demonstran, Melodie Ebner, dilansir The Washington Post, Minggu (21/1/2018).
"Tidak penting darimana asal negara kita, jumlah perempuan di dunia mendominasi lebih dari 50 persen dari populasi global dan kita harus keluar dari rumah untuk menyuarakan kesetaraan melalui aksi ini," imbuhnya.
Advertisement
Pria Juga Terlibat dalam Women's March
Tak hanya kaum hawa yang turun ke jalan, beberapa pria tampak terlibat di dalamnya.
Mereka lebih condong menyuarakan kekhawatiran tentang melemahnya "perlawanan" global terhadap Donald Trump dan kebijakannya.
"Tahun lalu, mereka berkumpul di sini sebanyak lima kali," Jeremy Pine (39) dari Florida.
"Kami ada di sini hari ini untuk memprotes beragam isu, lemahnya pemerintahan Amerika Serikat, perilaku misoginis, xenofobia, dan deskriminasi Trump terhadap orang-orang yang bukan kulit putih," lanjutnya.
Pine juga menyerang partai sayap kanan Jerman, Alternative for Germany (AfD), yang menerima dukungan akhir-akhir ini.
AfD mendapatkan kursi di Parlemen dalam pemilihan umum September lalu, sehingga membuatnya menjadi partai sayap kanan pertama yang punya kedudukan dalam sejarah kontemporer Jerman.
Namun, Berlin menjadi panutan bagi banyak orang dalam aksi tersebut, terutama karena kepemimpinan AS semakin berkurang.
Setelah setahun mengikuti agenda "America First" milik Trump, peran AS di dunia internasional berubah dramatis.
Dalam sebuah survei yang digelar oleh Gallup, Jerman kini menduduki peringkat teratas negara paling berpengaruh di dunia, mengalahkan Amerika Serikat untuk pertama kalinya dalam sejarah kepemimpinan.
Kepercayaan dunia terhadap kepemimpinan AS sekarang jadi 30 persen dalam satu tahun terakhir, dari sebelumnya 48 persen. Sedangkan untuk kepemimpinan Jerman, persentase stagnan di angka 41 persen.