Liputan6.com, Pyongyang - Dalam sejumlah narasi politik dan media arus utama, Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un digambarkan sebagai orang gila serta tak rasional atas sepak terjangnya dalam mengembangkan persenjataan nuklir dan rudal.
Narasi yang sama juga kerap mendeskripsikan bahwa proyek pengembangan persenjataan itu dilakukan oleh Kim Jong-un demi menghancurkan Amerika Serikat.
Namun, seorang pakar dan analis tak sependapat dengan dua narasi di atas.
Baca Juga
Advertisement
"Kim Jong-un tidak gila. Ia memiliki kontrol yang terkonsolidasi atas negara tersebut dengan menggunakan cara-cara yang sangat efektif dan kejam," kata Jeffrey Lewis, pakar kebijakan nuklir Middlebury Institute of International Studies di Monterey, Amerika Serikat.
Sedangkan terkait tujuan di balik ambisi Kim Jong-un untuk memiliki senjata rudal dan nuklir, Lewis mengatakan bahwa keduanya diduga kuat akan digunakan untuk pertahan diri.
"Kim Jong-un hanya bersedia melakukan hal-hal mengerikan untuk melindungi dirinya sendiri, yang menurut saya memberi tahu kita sesuatu tentang kredibilitas ancaman nuklir Korea Utara," lanjutnya.
Hal semacam itu memang tujuan utama dari senjata -- yakni untuk mempertahankan diri. Namun, argumentasi tentang pertahanan diri tak hanya satu-satunya alasan di balik ambisi Kim Jong-un untuk memiliki senjata rudal dan nuklir untuk Korea Utara.
Berikut penjelasan mengenai alasan dan tujuan utama di balik proyek rudal nuklir Korea Utara Kim Jong-un, seperti Liputan6.com kutip dari Business Insider (22/1/2018).
Bercermin dari Irak dan Libya
Menurut pakar, salah satu alasan di balik ambisi Kim Jong-un untuk memiliki senjata rudal dan nuklir adalah karena dirinya telah bercermin dari invasi Amerika Serikat ke Irak pada 2003.
"Bagaimana Anda meyakinkan Korea Utara, ketika mereka menandatangani sebuah kesepakatan, bahwa mereka tidak berakhir seperti Saddam Hussein di Irak," kata Jeffrey Lewis, pakar kebijakan nuklir Middlebury Institute of International Studies di Monterey, Amerika Serikat.
"Saddam benar-benar telah menghentikan program senjata pemusnah massal mereka, dan AS masih terus maju dan mengatakan bahwa mereka memilikinya, terus maju hingga AS akhirnya mengivasi mereka (Irak)," tambahnya.
Begitu juga dengan Libya. Ketika AS telah memaksa pelucutan nuklir dan Libya mematuhinya, Washington kemudian tetap melakukan intervensi negara tersebut dengan menggulingkan rezim Moammar Gaddafi yang berkuasa.
Keputusan kebijakan luar negeri itu terjadi selama pemerintahan Kim Jong Il -- ayah dari Kim Jong Un. Tapi yang jelas, anaknya belum melupakan dua peristiwa itu.
"Kim Jong Un, menurut saya, takut berakhir seperti Saddam Hussein atau Muammar Gaddafi," kata Lewis.
"Dia takut bahwa AS akan melakukan kepadanya apa yang telah kita lakukan terhadap mereka, dan telah memutuskan bahwa senjata nuklir adalah cara terbaik untuk mencegahnya," tambahnya.
Advertisement
Demi Memperkuat Daya Tawar Diplomasi Korut
Beberapa laporan menyebut bahwa Kim Jong-un ingin menggunakan senjata nuklir untuk memberikan mereka kekuatan daya tawar dalam berdiplomasi dengan Korea Selatan -- khususnya dalam dialog soal re-unifikasi Utara - Selatan.
"Saya yakin, jika diberi pilihan antara mengendalikan Korea Utara atau Utara dan Selatan, dia jelas akan lebih memilih untuk mengendalikan semuanya," Jeffrey Lewis, pakar kebijakan nuklir Middlebury Institute of International Studies di Monterey, Amerika Serikat.
"Namun, saya tidak berpikir bahwa ini menjelaskan perilaku nuklir mereka," tambahnya.
Apa yang mungkin terjadi -- dan mungkin mengejutkan banyak orang -- adalah bahwa rudal dan nuklir tersebut akan digunakan oleh Korea Utara untuk memperbaiki hubungannya dengan negara lain, termasuk Amerika Serikat.
Lewis menganalogikannya seperti relasi AS - China yang -- usai Tiongkok mengumumkan memiliki persenjataan nuklir dan rudal -- justru cenderung menjadi lebih seperti masa kini.