Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah sebaiknya tetap membebaskan bea masuk untuk garam impor. Pengenaan bea masuk untuk garam impor dikhawatirkan akan memperberat pelaku industri dan berdampak pada iklim usaha dan investasi.
Kepala Bagian Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Hizkia Respatiadi, mengatakan, tidak dikenakannya bea masuk untuk garam impor merupakan langkah positif yang dapat memacu produktivitas pelaku industri.
"Selama ini, walaupun tidak dikenakan bea masuk, mereka dibatasi oleh kuota dan proses yang memakan waktu lama untuk izin impor," dalam keterangan tertulis, Selasa (23/1/2018).
Baca Juga
Advertisement
Keharusan untuk mengimpor tidak lepas dari belum mampunya para petani garam lokal untuk memenuhi kebutuhan para pelaku industri. Selain itu, harga garam lokal juga lebih mahal daripada garam impor dan kualitasnya juga masih berada di bawah garam impor.
Garam industri harus sekurang-kurangnya mengandung lebih dari 96 persen natrium klorida. Hal ini, ucap Hizkia, juga belum mampu dipenuhi oleh garam produksi lokal.
Pembebasan bea masuk atas garam impor menunjukkan komitmen pemerintah terhadap kemudahan berinvestasi di Indonesia.
"Regulasi hendaknya dibuat sederhana supaya kegiatan investasi menjadi semakin berkembang dan mendukung pembangunan,” ucap Hizkia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Total Kebutuhan Garam Impor
Total kebutuhan garam nasional terus meningkat dalam waktu enam tahun belakangan. Pada 2010, jumlah kebutuhan garam nasional mencapai 3 juta ton. Jumlah ini mengalami peningkatan sebesar rata-rata 4,3 persen per tahun menjadi 3,75 juta ton pada 2015.
Peningkatan kebutuhan garam tersebut didominasi oleh garam industri yang naik rata-rata 6,8 persen per tahun selama 2010 hingga 2015. Sementara itu, kebutuhan garam konsumsi hanya naik 0,4 persen per tahun.
Pada 2014 yang lalu, Kementerian Perindustrian pernah memproyeksi kalau kebutuhan garam nasional akan naik 50 ribu ton setiap tahunnya.
Sementara itu jumlah produksi dalam negeri tetap belum sebanding dengan jumlah kebutuhannya. Contohnya pada 2015, total kebutuhan 3,75 juta ton dipenuhi oleh 2,8 juta ton garam hasil produksi nasional lalu sisanya dari impor.
Sementara itu, pada 2016, produksi garam nasional selama 2016 hanya mencapai 4 persen dari target. Produksi garam selama 2016 hanya 144 ribu ton dari target 3 juta ton.
Pemerintah berencana mengimpor 3,7 ton garam untuk kebutuhan industri. Impor kali ini tidak dilakukan berdasarkan rekomendasi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan pertimbangan garam yang diimpor merupakan garam industri.
Kementerian Perdagangan mengusulkan kepada Kementerian Keuangan untuk mengenakan bea masuk untuk garam industri. Garam konsumsi impor sudah dikenai bea masuk sebesar 10 persen.
Advertisement
Kemudahan Impor
Sebelumnya, pemerintah memberi kemudahan impor garam industri dengan melonggarkan ketentuan rekomendasi impor yang diterbitkan Kementerian Kelautan Perikanan.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, dalam hal impor garam, Kementerian Kelautan dan Perikanan memiliki kewenangan mengeluarkan rekomendasi impor garam industri.
"Kalau secara aturan garam industri ini perlu rekomendasi Menteri KKP. Persoalannya, industri yang tahu menteri perindustrian karena pemakainya Menteri Perindustrian, karena ini garam industri," kata Darmin, di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Jumat (19/1/2018).
Darmin menuturkan, pemerintah telah sepakat memberikan kemudahan impor garam dengan melonggarkan rekomendasi impor. Dengan begitu, tidak perlu mendapat rekomendasi setiap impor garam yang dilakukan.
"Aturannya tetap di Kementerian Kelautan Perikanan, tetapi untuk impor garam industri kita tidak memerlukan rekomendasi setiap kali impor lagi, itu saja," tutur dia.
Darmin mengungkapkan, pelonggaran rekomendasi impor garam merupakan inisiasi Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, agar rekomendasi diberikan dalam jangka panjang sesuai dengan kebutuhan industri.