Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri (Kemlu) mengemukakan kekecewaan atas tindakan Parlemen Eropa (PE) yang tetap menyetujui penghentian penggunaan biofuel berbahan dasar kelapa sawit sebagai sumber energi terbarukan pada 2021.
Kebijakan yang diskriminatif ini, sebagaimana dirilis lewat website Kemlu, tecermin dalam pemungutan suara di PE terhadap “the draft of Directive on the Promotion of the Use of Energy from Renewable Sources” dalam sesi pleno, 17 Januari 2018.
Baca Juga
Advertisement
Dikutip dari laman Setkab, Selasa (23/1/2018), menyikapi keputusan tersebut, Indonesia memahami meski keputusan PE tersebut belum final, tetap akan memengaruhi pandangan konsumen di Uni Eropa (UE) serta memberikan tekanan politik bagi negara-negara anggota UE dan berbagai institusi UE dalam pembentukan sikap terhadap kelapa sawit sebagai salah satu sumber energi terbarukan.
“Sangat disayangkan, sebagai institusi terhormat, Parlemen Eropa melakukan tindakan ini tidak hanya sekali, tetapi berulang kali. Contoh terakhir adalah resolusi tentang “Palm Oil and Deforestation of Rainforests” dengan kesimpulan yang melenceng dan bias terhadap kelapa sawit,” sebagaimana rilis yang disampaikan melalui laman Kemlu.
Parlemen Eropa, secara konsisten tidak mengindahkan fakta bahwa kelapa sawit memiliki efisiensi dan produktivitas sangat tinggi yang berpotensi menyumbang konservasi lingkungan dalam jangka panjang sebagai global land bank bila dibandingkan dengan minyak sayur lainnya.
“Kelapa sawit juga sepuluh kali lipat lebih efisien dalam pemanfaatan lahan dibandingkan dengan minyak rapeseed Eropa. Oleh karena itu, kebijakan untuk menghilangkan kelapa sawit dari program biofuel sebagai sumber energi terbarukan merupakan kebijakan perdagangan yang proteksionis daripada upaya pelestarian lingkungan semata,” bunyi rilis yang dikeluarkan oleh Kemlu.
Mampu Entaskan Kemiskinan
Dalam hal ini, pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menjamin dan mempertahankan manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan dari pengembangan kelapa sawit melalui berbagai kebijakan dan regulasi.
Lebih lanjut, industri minyak sawit Indonesia telah terbukti berkontribusi pada pengentasan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, dan pencapaian tujuan Sustainable Development Goals.
“Proses selanjutnya dan keputusan akhir RED II dipastikan akan berdampak pada fondasi hubungan ekonomi, perdagangan, dan investasi antara Indonesia dan Uni Eropa yang terus tumbuh berdasarkan nilai saling menghormati kepentingan masing-masing,” mengutip pernyataan akhir pada rilis tersebut.
Advertisement
Dubes Uni Eropa: Kami Tak Mendiskriminasi Kelapa Sawit Indonesia
Sebelumnya, Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia, Vincent Guerend, menegaskan bahwa organisasinya dan para negara anggota organsiasi multilateral Benua Biru itu tak mendiskriminasi minyak kelapa sawit (CPO) Indonesia beserta produk turunannya.
Pernyataan itu ia sampaikan di tengah derasnya sentimen negatif dari pemerintah Indonesia terhadap Uni Eropa, yang disebut mendiskriminasi komoditas kelapa sawit Indonesia di pasar UE.
"Sesungguhnya, dengan bangga saya mengatakan bahwa cerita tentang Uni Eropa yang mendiskriminasi komoditas CPO dan produk turunannya adalah sebuah hal yang keliru dan berbeda dengan kenyataan yang sebenarnya," kata Dubes Guerend berargumen saat konferensi pers di Jakarta, Rabu 13 Desember 2017.
Melanjutkan argumentasinya, Guerend mengatakan bahwa Uni Eropa sesungguhnya adalah pasar ekspor terbesar kedua di dunia--di belakang China--untuk komoditas CPO dari Indonesia.
"Sebagai pasar, UE juga sangat terbuka pada produk CPO," ujar Guerend.
Sebagai bukti, ia menjelaskan bahwa komoditas CPO Indonesia dan produk turunannya dikenai pajak yang sangat rendah. "Bahkan, sekitar separuh CPO Indonesia yang masuk ke UE dikenai pajak 0-4 persen, lebih rendah dari pasar sawit di kawasan lain," tambah pria yang telah berdinas di Indonesia selama tiga tahun terakhir itu.