Liputan6.com, Kinshasa - Ratusan orang ditangkap dalam serangkaian aksi kekerasan yang terjadi di Republik Demokratik Kongo, setelah gelombang unjuk rasa memprotes berlanjutnya masa kekuasaan Presiden Joseph Kabila.
Dilansir dari laman TheGuardian.com, pada Selasa (23/1/2018) pasukan keamanan menembak mati setidaknya enam orang, dan membuat luka puluhan lainnya, dalam upaya pembubaran unjuk rasa yang digerakkan oleh Gereja Katolik setempat di ibukota Kinshasa, pada hari Minggu, 21 Januari 2018.
Baca Juga
Advertisement
Aksi unjuk rasa itu merupakan yang terbaru dari serangkaian protes sejak Presiden Joseph Kabila menolak turun dari akhir jabatannya pada Desember 2016.
Hingga akhir 2017, puluhan orang telah terbunuh dalam aksi protes yang dilakukan di Kinshasa, dan beberapa tempat lain di negara yang terletak di tengah benua Afrika itu.
Georges Kapiamba, dari Asosiasi Akses Keadilan Kongo, menyebut lebih dari 200 orang ditahan pada akhir pekan lalu di Kinshasa.
Penahanan juga dilakukan di kota tambang berlian Mbuji-Mayi, di bagian timur kota Goma dan Lubumbashi, serta beberapa wilayah lain di seantero Kongo. Unjuk rasa besar-besaran tersebut diinisiasi oleh Komite Koordinasi Reformasi Republik Demokratik Kongo, sebuah kelompok yang mendapat dukungan luas dari para imam dan uskup di negara berpenduduk mayoritas Katolik itu.
Sebelumnya pada momen pergantian tahun, pasukan keamanan Kongo dilaporkan membunuh setidaknya tujuh orang dalam unjuk rasa serupa di Kinshasa.
Sejumlah orang ditangkap pada hari-hari menjelang aksi unjur rasa terkait usai laporan intelijen di lapangan. Banyak dari mereka yang ditangkap mendapat perlakuan buruk dari otoritas keamanan, seperti pemukulan dan penempatan di sel-sel tahanan sempit.
Kekhawatiran Kembali Terjadinya Perang di Kongo
Ketidakstabilan politik telah memicu kekhawatiran meluas tentang kembalinya Kongo ke dalam situasi perang, yang telah membunuh jutaan orang pada 1990-an. Kebanyakan korban meninggal kala itu akibat kelaparan dan penyakit akibat buruknya akses kesehatan.
Kala itu, ribuan orang terbunuh dan jutaan orang mengungsi akibat konflik berkepanjangan di kawasan selatan dan timur Kongo.
Bulan lalu, pasukan militan bersenjata membunuh 15 pasukan perdamaian di kawasan timur Kongo, di mana merupakan salah satu serangan terburuk yang menimpan personel keamanan PBB dalam beberapa tahun terakhir.
Berdasarkan kesepakatan yang dimediasi oleh pihak Gereja Katolik, antara Kabila dan lawan-lawan politiknya, presiden akan mengundurkan diri pada akhir 2017 lalu, dan membuka jalan untuk sebuah pemilu yang diadakan sebelum pertengahan tahun ini.
Namun, Kabila mengingkari dan pemilu mau tidak mau terus ditunda, dan direncanakan paling lambat pelaksananaannya sebelum akhir 2018.
"Kabila tidak berniat melepaskan kekuasaannya …. Strateginya adalah dengan menyebarkan kekacauan di seluruh negeri, sehingga ada alasan untuk menunda pemilihan, yakni sedang terjadi banyak kekerasan," ujar Felix Tshisekedi, salah seorang pemimpin oposisi terkemuka, dalam sebuah wawancara dengan surat kabar The Guardian pada Desember 2017.
Pemerintah resmi Kongo dan para pendukung Presiden Kabila, yang mengambil alih kekuasaan ketika ayahnya dibunuh pada 2001 silam, bahwa penundaan tersebut akibat dari kesulitan logistik dalam penyelenggaraan pemilu di sebuah negara seukuran Eropa Barat, namun dengan infrastruktur yang terbatas.
Advertisement
Gereja Katolik Muncul Sebagai Oposisi Baru
Dalam beberapa bulan terakhir, Gereja Katolik telah muncul sebagai kekuatan baru yang menentang kekuasaan Kabila. Mereka seolah menggantikan lawan-lawan politik Kabila yang mulai melemah akibat pecah kongsi.
Uskup Agung dan para uskup yang membentuk Konferensi Wali Gereja Nasional Kongo (Cenco) telah berulang kali memperingatkan Kabila, bahwa ia tidak akan mendapat mandate untuk ketiga kalinya dalam bentuk pemilu apapun.
Lembaga tersebut juga telah menerbitkan sebuah deklarasi pada bulan Juni 2017, yang menyerukan masyarakat Kongo untuk berdiri dan menentukan nasib di tangan mereka sendiri.
Para uskup mengulang seruan serupa pada deklarasi kedua yang dikeluarkan pada 24 November lalu, dan menuntut Kabila untuk membebaskan tahanan politik, memulangkan pemimpin oposisi yang diasingkan, membuka kembali media yang dibredel, dan mereformasi lembaga pemilu setempat.
Krisis yang terjadi di Kongo mendapat sedikit perhatian dari dunia internasional.
Ida Sawyer, Direktur Human Rights Watch untuk kawasan Afrika Tengah, mengatakan: "Kabila dan pendukungnya siap menggunakan segala cara untuk menghancurkan, membungkam, dan melenyapkan semua perlawanan yang berusaha menghalangi mereka tetap berkuasa. Sebelum kekerasan kian meluas, dan peta politik makin carut marut, dunia internasional harus menunjukkan kepada Kabila apa saja pelanggaran yang telah dibuatnya."