Belum Siap, Bangladesh Tunda Pemulangan Rohingya ke Myanmar

Pemerintah Bangladesh memutuskan untuk menunda proses repatriasi pengungsi Bangladesh. Isu ketidaksiapan logistik dijadikan alasan

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 23 Jan 2018, 18:40 WIB
Anak-anak pengungsi muslim Rohingya menunggu bantuan makanan di kamp pengungsi Thankhali di Distrik Ukhia, Bangladesh, (12/1). Mereka melarikan diri bersama orangtuanya saat konflik pecah di Myanmar. (Munir UZ ZAMAN/AFP)

Liputan6.com, Dhaka - Hari ini, seharusnya proses pemulangan lebih dari setengah juta pengungsi (repatriasi) Rohingya di Bangladesh ke Rakhine, Myanmar telah dimulai.

Namun, beberapa jam sebelum dimulai, pemerintah Bangladesh memutuskan untuk menunda proses repatriasi itu. Demikian seperti dikutip dari ABC Australia (23/1/2018).

"Masih ada beberapa hal yang harus dilakukan," kata Abul Kalam, Komisioner Rehabilitasi dan Bantuan Pengungsi Bangladesh, lembaga pemerintah yang menangani etnis Rohingya yang eksodus ke Bangladesh.

Masalah ketidaksiapan logistik diklaim oleh Bangladesh sebagai alasan utama di balik penundaan itu.

"Daftar nama pengungsi yang akan direpatriasi masih belum siap. Verifikasi data dan kamp transit untuk proses repatriasi juga belum," tambah Kalam mengomentari penundaan pemulangan pengungsi Rohingya.

 


LSM: Seharusnya Ditunda Lebih Lama, hingga Situasi Memungkinkan

Pengungsi Muslim Rohingya menunggu untuk menerima bahan makanan di kamp pengungsi Jamtoly, Bangladesh (15/1). Media Myanmar melaporkan akan ada 625 bangunan yang mampu menampung sekitar 30.000 orang Rohingya. (AP Photo / Manish Swarup)

Lembaga aktivisme dan advokasi HAM Fortify Rights yang berbasis di Amerika Serikat menyambut baik keputusan Bangladesh untuk menunda proses repatriasi itu. Namun, mereka merasa, alasan di balik penundaan proses repatriasi itu keliru.

"Otoritas Bangladesh menunda proses raptriasi karena alasan logistik semata. Namun, penundaan itu dilakukan bukan karena masih adanya pelanggaran HAM dan potensi kekerasan (terhadap Rohingya) di Rakhine," kata Matthew Smith dari Fortify Rights.

Fortify Rights menyatakan -- sekaligus sangat menyarankan -- agar penundaan itu dapat diperpanjang hingga situasi di Rakhine benar-benar aman bagi Rohingya dan hak etnis minoritas tersebut dapat benar-benar dijamin oleh Myanmar.

Lembaga aktivisme HAM itu juga mendesak agar Myanmar segera memberikan perbaikan terhadap kampung-kampung Rohingya yang rusak akibat rangkaian kekerasan dan konflik yang terjadi di Rakhine pada pertengahan tahun 2017 silam, sebelum proses repatriasi terjadi.

"Desa-desa mereka sebagian besar telah dihancurkan, beberapa ratus desa bahkan dikabarkan telah dibakar sepanjang tahun 2017 ini," tambah Smith.

"Jadi jika mereka dipulangkan sekarang, sejatinya mereka kembali ke tumpukan abu bekas desa mereka yang telah dibakar dan dibuldozer," paparnya.

Para pejabat Myanmar bersikeras telah menyediakan kamp penampungan sementara di Rakhine khusus untuk etnis Rohingya yang desa dan rumahnya masih belum layak huni.

Namun, rekaman video yang diambil oleh jurnalis lokal menunjukkan bukti sebaliknya, dimana kamp-kamp penampungan sementara itu pun belum sepenuhnya siap, atau bahkan belum didirikan sama sekali oleh Myanmar.

Rekaman video itu menunjukkan lapangan berdebu yang besar dengan segelintir surveyor dan penggali, beberapa tenda putih besar untuk pekerja -- namun tanpa adanya akomodasi, toilet, air minum atau infrastruktur perawatan kesehatan lainnya.

Smith bahkan mengatakan, solusi untuk mendirikan kamp penampungan semacam itu justru hanya menebalkan isu seputar Rohingya -- yang serupa seperti sistem apartheid.

Badan pengungsi PBB (UNHCR) menekankan bahwa Rohingya seharusnya kembali ke Myanmar secara sukarela, dan hanya jika hak dan keamanan dasar mereka dapat dilindungi.

Ketika rencana repatriasi diumumkan pada bulan November 2017, sebuah survei menemukan, 89 persen orang Rohingya tidak mau kembali.

Seorang perempuan Rohingya di kamp pengungsian Bangladesh berkata, "Anda bisa melempar kami ke laut, tapi tolong jangan mengirim kami kembali ... kami tidak akan kembali ke Myanmar."


Pemulangan Pengungsi Rohingya Selesai dalam 2 Tahun?

Muslim Rohingya saat melakukan pelayaran maut untuk mengungsi dari Rakhine. (AFP)

Kementerian Luar Negeri Bangladesh mengatakan, negaranya dan Myanmar sepakat untuk menyelesaikan misi pemulangan ratusan ribu pengungsi Rohingya dalam dua tahun.

Diberitakan oleh VOA Indonesia, Selasa 16 Januari 2018 sebuah kelompok kerja telah terbentuk. Kelompok ini melibatkan kedua negara tersebut dan membuat sebuah perjanjian pada hari Senin.

Perjanjian tersebut berisi pengaturan repatriasi Rohingya. Kementerian juga sepakat bahwa proses pemulangan mereka akan selesai dalam waktu dua tahun, sejak dimulainya repatriasi.

Myanmar dan Bangladesh menandatangani perjanjian awal untuk repatriasi pengungsi Rohingya pada November 2017.

Sebuah tim yang beranggotakan 30 orang telah dibentuk bulan lalu untuk mengawasi proses pemulangan tersebut. Banyak pertanyaan muncul: Apakah Rohingya akan dikembalikan ke Myanmar dalam kondisi seperti sekarang ini?

Atau, apakah Myanmar akan menerima dan membiarkan mereka hidup bebas?

Berdasarkan perjanjian bulan November, Rohingya harus bisa memberikan bukti bahwa mereka memang tinggal dan berasal dari Myanmar.

Hingga kini, tercatat ada lebih dari 650 ribu Rohingya melarikan diri ke Bangladesh sejak Agustus silam.

Militer Myanmar melancarkan penumpasan brutal di negara bagian Rakhine, setelah sekelompok militan yaang diklaim berasal dari etnis tersebut menyerang pos polisi di daerah itu.

Militer Myanmar menggambarkan hal itu sebagai “operasi pembersihan” teroris, tetapi PBB dan Amerika Serikat menyebutnya sebagai “pembersihan etnis.”

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya