Indef: Jangan Latah Ikuti Revolusi Industri 4.0

Demi menyambut Revolusi Industri 4.0, banyak negara mempersiapkan diri dengan berlomba-lomba mengembangkan teknologi digital.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 23 Jan 2018, 20:39 WIB
Suasana perakitan mobil di PT Mitsubishi Motors Krama Yudha Indonesia (MMKI), Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, Selasa (25/4). Menempati luas area 30 hektar, pabrik MMKI telah mulai memproduksi Pajero Sport & small-MPV Mitsubishi.(Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Demi menyambut Revolusi Industri 4.0, banyak negara mempersiapkan diri dengan berlomba-lomba mengembangkan teknologi digital.

Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartanti menyebutkan, Indonesia sebagai negara yang masih berstatus emerging country tidak seharusnya terlalu berambisi mengejar ketertinggalan itu.

"Kita sering latah mengikuti apa yang menjadi tren dunia, tanpa mengetahui siapa kita. Demikian juga di dalam dunia industri," tuturnya pada acara 'Diskusi Publik: Tantangan Penurunan Ketimpangan Ketenagakerjaan Indonesia' di Tjikini Lima, Jakarta pada Selasa (23/1/2018).

Kualifikasi tenaga kerja lokal yang dianggapnya belum sepadan untuk berjalan mengikuti revolusi industri. "Apa yang menjadi kualifikasi dari tenaga kerja kita saja, lebih dari 60 persen masih SMP ke bawah," pungkas dia.

"Jika kita vokal berbicara tantangan, semisal revolusi industri keempat yang mengarah ke teknologi, apakah potensi kita sekarang memang benar-benar ke arah sana? Kalau kita hanya sekedar latah mengikuti pengembangan industri tersebut, sudah pasti itu akan terlempar dari persaingan," jelas Enny.

"Di sisi lain, berbagai daerah di Indonesia diberkahi bermacam potensi, seperti kelautan dan perikanannya. Hanya saja itu tidak dioptimalkan. Belum lagi rotan kita masih merajai. Karet juga masih merajai. Ke depannya, pariwisata sangat luar biasa potensinya," terangnya.

Enny menyarankan, negara lebih baik mengembangkan potensi ekonomi di tiap daerah yang berbeda-beda, demi mengejar ketertinggalan dalam sektor industri dari negara lainnya.

"Jika kita tidak bisa mengejar industri yang berbasis teknologi, banyak sekali industri-industri kreatif di berbagai pelosok daerah, dari Sabang sampai Merauke. Itu semua bisa lebih dikembangkan," ungkapnya.

"Kita harus mengembangkan industri sesuai dengan potensi yang kita miliki. Kita juga harus melihat lebih jauh, sektor apa yang bisa dikembangkan di tiap daerah, jangan terlalu fokus pada pengembangan teknologi digital saja," ujar dia.

 


Revolusi Industri Bikin Ketimpangan Ekonomi Makin Tinggi?

Foto yang diambil pada 16 November 2015 memperlihatkan pekerja tengah merakit mobil All News Kijang Innova di Pabrik TMMIN Karawang. Mobil baru tersebut akan memberi warna baru pada perkembangan pasar MPV dalam negeri. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Program Manager International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) Siti Khoirun Ni'mah mengatakan bahwa ketimpangan ekonomi antar penduduk dunia saat ini tercatat sebagai yang terbesar sepanjang sejarah.

"Data dan fakta menunjukan, dunia kini mengalami ketimpangan tertinggi sepanjang masa. Hanya segelintir orang memiliki kekayaan setara dengan separuh penduduk dunia," ucapnya di Jakarta pada Selasa (23/1/2018).

"Kondisi serupa terjadi di Indonesia. Walaupun ketimpangan atau gini ratio yang diukur dari pendapatan terus menurun, tidak demikian dengan kekayaan. Kepemilikan harta antara golongan berpunya dengan yang berada di bawah itu jomplang," tambah dia.

Siti lalu memaparkan data terkait angka kekayaan atau kepemilikan harta secara nasional, di mana segelintir orang terkaya negara masih menjadi penyumbang terbesar keuangan Indonesia, hampir separuhnya.

"Selama lima tahun terakhir, 50 persen penduduk Indonesia kekayaannya turus turun, dari 3,8 persen dari total kekayaan nasional menjadi 2,8 persen. Sementara itu, 1 persen penduduk terkaya memiliki 45 persen dari total kekayaan nasional," jelasnya.

Terpantau, saat ini dunia tengah menghadapi perubahan corak produksi yang berbasis pada kemajuan teknologi. Perubahan yang dinamakan 'Revolusi Industri 4.0' tersebut akan menghasilkan jenis pekerjaan baru yang menuntut keterampilan dan keahlian tertentu.

"Untuk itu, segenap upaya penurunan ketimpangan haruslah berkelanjutan, salah satunya ketimpangan dalam mendapatkan akses atas pekerjaan yang layak," imbuh Siti.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya