Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai terdakwa kasus korupsi pengadaan proyek e-KTP, Setya Novanto, belum layak ditetapkan sebagai justice collaborator (JC). Pasalnya, mantan Ketua DPR RI itu terus menyangkal terlibat serta menerima aliran uang dalam pusaran kasus korupsi yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun itu.
"Saya kira sejauh ini kita belum lihat hal tersebut. Misalnya terkait penerimaan jam dan dugaan penerimaan lain kita belum meyakini hal tersebut," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah saat dikonfirmasi, Rabu (23/1/2018).
Advertisement
Dia mengingatkan ada tiga syarat yang harus dipenuhi oleh Novanto bila ingin menjadi JC. Tiga syarat itu, antara lain membongkar atau mengungkap sesuatu yang lebih besar, konsisten dengan keterangan dan niatannya menjadi seorang JC, dan harus mengakui telah melakukan perbuatan korupsi.
Menurut Febri, KPK menilai Novanto belum memenuhi satu pun syarat itu. KPK, lanjut dia, berpendapat mantan Ketua Umum Partai Golkar itu belum serius menjadi JC.
"Baik di proses pemeriksaan sebagai terdakwa di persidangan ataupun di proses penyidikan kami belum mendapatkan informasi yang baru dan cukup kuat dari keterangan yang bersangkutan," jelasnya.
Febri menuturkan KPK menunggu keseriusan Novanto untuk menjadi JC selama persidangan. Jika dianggap tak layak, kata dia, KPK akan menolak permohonan Novanto menjadi JC tersebut.
"Karena posisi JC bukan posisi yang dapat diberikan secara mudah. Jadi JC itu kita tahu bisa mengungkap peran pihak lain yang lebih besar dan sebelum mengungkap peran pihak lain dia juga akui dulu bahwa ia adalah pelaku dalam kasus ini," tegas dia.
Terima Uang dan Jam
Setya Novanto didakwa mendapat keuntungan US$ 7,3 juta dan jam tangan Richard Mille senilai US$ 135 ribu dari proyek e-KTP.
Dia didakwa Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement