Liputan6.com, Jakarta - Langkah pemerintah menargetkan swasembada beras dinilai sudah tidak realistis karena target ini tanpa memperhatikan perubahan di masyarakat. Selain perubahan, target ini juga dihadapkan pada sejumlah tantangan.
Kepala Bagian Penelitian Center for Indonesian Policy Studies Hizkia Respatiadi mengatakan, kondisi Indonesia saat ini sangat jauh berbeda pada saat swasembada tercapai di era pemerintahan Presiden Soeharto.
Perubahan-perubahan yang ada antara lain adalah jumlah penduduk yang terus meningkat. Laju pertambahan penduduk Indonesia terjadi sangat cepat.
Baca Juga
Advertisement
"Jumlah penduduk yang bertambah harus diikuti dengan kemampuan lahan pertanian untuk menyediakan pangan untuk mereka," jelas dia dalam keterangan tertulis, Rabu (24/1/2018).
Hal ini sangat terkait dengan perubahan lainnya yaitu semakin terbatasnya jumlah lahan yang bisa digunakan untuk pertanian.
Gencarnya industrialisasi dan pembangunan infrastruktur menggerus lahan-lahan pertanian masyarakat. Hal ini berakibat pada tidak maksimalnya hasil produksi beras, baik secara ekstensifikasi maupun intensifikasi.
Jumlah petani juga terus berkurang seiring dengan berkurangnya akses mereka terhadap kepemilikan lahan. Selain itu regenerasi di kalangan petani juga berjalan relatif lambat karena generasi muda tidak tertarik untuk menjadi petani.
"Belum lagi sistem irigasi yang sangat tergantung dengan air bersih. Air kini juga rentan pencemaran,” ungkapnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Pasca Panen Tak Efisien
Indonesia memiliki tingkat efisiensi yang rendah pada proses pasca-panennya. Dari sekitar 57 juta ton padi yang dihasilkan, sekitar 8,5 juta ton atau 15 persen terbuang percuma dalam proses pascapanen.
Hal ini diakibatkan berbagai faktor, seperti jauhnya rentang waktu antara panen dengan proses perontokan bulir padi (threshing) dan juga proses pengeringan yang masih tradisional (dijemur) dan belum menggunakan mesin.
Jika dibandingkan dengan Malaysia, Thailand dan Vietnam, masing-masing hanya kehilangan sekitar 319.000 ton untuk Malaysia, 3,9 juta ton di Thailand dan 4,9 juta ton di Vietnam.
“Penguasaan teknologi di kalangan petani juga belum menjadi sesuatu yang memasyarakat di kalangan mereka. Hal ini tentu membutuhkan waktu,” tambah Hizkia.
Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk mengatasi hal ini adalah dengan melakukan diversifikasi. Diversifikasi pangan bisa menjadi pilihan daripada hanya fokus pada satu jenis komoditas pangan saja.
Namun, diversifikasi pangan tidak akan terwujud kalau pemerintah tetap menjadikan swasembada sebagai tujuan utama. Hal ini dikarenakan masyarakat akan memilih komoditas yang tersedia dalam jumlah banyak
Penyediaan pangan, lanjutnya, kini tidak hanya soal memenuhi kebutuhan masyarakat saja. Penyediaan pangan kini juga termasuk bagaimana menyediakan pangan yang bergizi untuk masyarakat dan menciptakan food supply chain yang sustainable untuk masyarakat.
“Food supply chain ini yang masih menjadi masalah di masyarakat. Food supply chain yang ada belum sustainable sehingga seringkali menimbulkan kekisruhan seperti naiknya harga komoditas pangan, karena komoditas tersebut tiba-tiba menghilang dari pasaran dan sulit didapat,” ujarnya.
Advertisement
Mekanisme Perdagangan Internasional
Selain diversifikasi pangan, Hizkia juga menjelaskan pentingnya keterlibatan Indonesia dalam mekanisme perdagangan internasional. Perdagangan internasional tetap dibutuhkan, lanjutnya, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Di saat yang bersamaan, masyarakat juga diarahkan untuk beralih ke makanan alternatif yang terdiversifikasi. Hal ini penting karena Indonesia harus menjadi bagian dari global food market yang terintegrasi.
“Jika Indonesia mengisolasi dirinya sendiri dengan program swasembada yang agresif dan merusak lingkungan, maka Indonesia akan merugikan petani dan masyarakat,” terangnya.