HEADLINE: Beda Data Impor Garam Kemenperin Vs KKP, Valid Mana?

Pemerintah memutuskan untuk mengimpor garam industri sebesar 3,7 juta ton.

oleh NurmayantiAchmad Dwi AfriyadiPebrianto Eko WicaksonoFiki AriyantiIlyas Istianur PradityaMaulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 25 Jan 2018, 00:04 WIB
Harga garam yang tinggi semanis bulan madu justru tak bisa dirasakan sama sekali oleh petani garam di Jeneponto. (Liputan6.com/Ahmad Yusran)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah memutuskan membuka keran impor garam industri sebesar 3,7 juta ton pada 2018. Langkah ini diambil demi menjaga stabilitas operasional industri nasional yang membutuhkan garam untuk proses produksi.

Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita mengatakan, kebutuhan garam industri tidak boleh terganggu. Hal ini telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2015 tentang kewajiban pemerintah yang menjamin pasokan bahan baku bagi industri di dalam negeri, termasuk garam yang dibutuhkan industri farmasi, kertas, aneka pangan dan sebagainya.

"Kebutuhan garam untuk industri itu tidak boleh terganggu," kata dia, Jumat 19 Januari 2018.

Ada satu cerita di balik penetapan impor ini. Sebelum tercapai kata sepakat perihal kuota impor garam, ternyata sempat terjadi polemik di dalamnya. Terdapat perbedaan data produksi garam nasional antara Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Kementerian Perindustrian (Kemenperin). 

Ini diketahui saat berlangsungnya rapat koordinasi antara beberapa kementerian dan lembaga yang membahas impor garam di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, pada Jumat 19 Januari 2018.

Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution mengungkapkan bahwa sebelum ada keputusan volume impor garam industri sempat terjadi perdebatan.

KKP mengusulkan volume impor yang jauh lebih rendah, yaitu sebesar 2,2 juta ton per tahun. Sementara, jika mengacu usulan Kemenperin yang berdasarkan konsumsi garam kalangan industri, jumlah yang diimpor seharusnya 3,7 juta ton.

Data ini kemudian coba dicocokkan Menko Darmin dengan yang dimiliki Badan Pusat Statistik (BPS).

Foto dok. Liputan6.com

"Pada waktu (penetapan) jumlahnya berapa? Memang terjadi perbedaan pendapat. Kementerian Perindustrian keluar dengan angka kebutuhan industri 3,7 juta ton per tahun, dari Kementerian Kelautan Perikanan berdasarkan rapat mereka dengan BPS minta 2,2 juta," jelas Darmin.
 
Dia melanjutkan,"Kemudian saya tanya BPS, Anda datanya dari mana? Memang tahu industrinya? Kemudian BPS menjawab, ya sebenarnya data sampel‎."
 
Akhirnya, usai pencocokan data, rapat koordinasi memutuskan memakai acuan Kemenperin. "Kami memutuskan (impor garam) 3,7 juta ton per tahun,‎" Darmin menegaskan.
 
Impor garam akan berlangsung secara bertahap, menyesuaikan dengan keb‎utuhan. Sementara untuk jangka panjang, ke depan pemerintah akan mengevaluasi langkah impor garam sesuai dengan kondisi yang ada.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani mengungkapkan, perbedaan maupun kerancuan data kebutuhan garam di internal pemerintah memang terus menjadi polemik setiap tahun.

"Masalah itu (garam) selalu menjadi polemik. Seperti tahun lalu, industri sudah teriak-teriak, ini (garam) tidak cukup stoknya. Tapi Menteri KKP bersikukuh garam cukup, jadi di sini ada kerancuan di pemerintah antara perbedaan garam konsumsi masyarakat dan garam industri," jelas Hariyadi.
 
Menurut dia, kriteria garam industri dengan garam konsumsi masyarakat jelas berbeda. Hariyadi mengaku, industri membutuhkan konsumsi garam dengan kriteria lebih kering dan diproses lebih sempurna.
 
"Ini yang selalu jadi polemik, selalu disamakan antara garam industri dan garam konsumsi masyarakat. Produksi petani garam itu untuk garam konsumsi masyarakat, sedangkan konsumsi produsen (industri) beda lagi," Hariyadi menegaskan. 
 

Jawaban Menteri Susi

Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti (Liputan6.com/Johan Tallo)

Di hadapan Komisi IV [DPR-RI](http://www.dpr.go.id/ ""), pada Senin 22 Januari 2018, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengungkapkan pertimbangan KKP mengusulkan kuota impor garam yang lebih kecil. 

Menurut Susi, usulan itu mengacu pada peran petani lokal. "Pertimbangan kami memutuskan impor 2,17 juta ton juga karena menyadari, melihat dan telah menginvestigasi, bahwa hasil garam petani cukup bagus dan banyak untuk mencukupi konsumsi masyarakat," jelas dia.

Dia menilai keputusan pemerintah untuk membuka keran impor garam sebanyak 3,7 juta ton terlalu besar dan seakan mengabaikan peran petani garam lokal.

"Keputusan untuk mengimpor (garam) 3,7 juta ton adalah override dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Perdagangan. Mereka tidak mengindahkan rekomendasi KKP yang hanya menyarankan impor sebesar 2,17 juta ton saja," kata Susi.

Meski berbeda soal data, Menteri Susi minta hal ini tak menjadi komoditas politik. Apalagi langkah impor garam sudah berlangsung selama bertahun-tahun, sejak dirinya belum menjadi menteri.

"Saya mohon ini tidak dipolitisir, karena KKP sudah lebih dari 15 tahun melakukan impor garam, jauh dari sebelum saya menjadi menteri," ucap dia.

Wakil Ketua Komisi IV DPR, Michael Wattimena mengatakan, kebijakan impor garam memang seharusnya melibatkan KKP sesuai undang-undang.

"Komisi IV DPR menolak impor garam tanpa rekomendasi dari Menteri KKP, seperti yang tertera dalam pasal 37 UU Nomor 7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan dan Petambak Garam," tegas dia.

 

 


Impor untuk Apa Saja?

Petani garamm di Tegal. (Liputan6.com/Fajar Eko Nugroho)

Direktur Jenderal Industri Kimia Tekstil dan Aneka (IKTA) Kemenperin Achmad Sigit Dwiwahjono mengatakan, Kemenperin telah mengajukan kebutuhan bahan baku garam untuk industri nasional sekitar 3,7 juta ton untuk 2018.

Ketersediaan bahan baku tersebut merupakan salah satu faktor penunjang keberlanjutan produksi dan investasi di sektor

Menurut dia, kebutuhan tersebut akan disalurkan kepada industri Chlor Alkali Plant (CAP), untuk memenuhi permintaan industri kertas dan petrokimia sebesar 2.488.500 ton. Selain itu, bahan baku garam juga didistribusikan kepada industri farmasi dan kosmetik sebesar 6.846 ton serta industri aneka pangan 535 ribu ton.

“Sesuai dengan hasil rapat pembahasan, garam untuk industri aneka pangan diimpor dalam bentuk kristal yang kasar (bahan baku) dan akan diolah oleh industri pengolah garam menjadi garam untuk kebutuhan industri,” ujar dia.

Sisanya, lanjut Sigit, kebutuhan bahan baku garam sebanyak 740 ribu ton untuk sejumlah industri, seperti industri pengasinan ikan, industri penyamakan kulit, industri pakan ternak, industri tekstil dan resin, industri pengeboran minyak, serta industri sabun dan detergen.

“Beberapa sektor tersebut mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi, seperti industri petrokimia, makanan dan minuman, serta farmasi dan kosmetik‎. Terlebih lagi, industri manufaktur menjadi sektor andalan karena berkontribusi signifikan dalam upaya memenuhi target pertumbuhan ekonomi nasional," kata dia.

Sigit menyatakan, pemenuhan bahan baku untuk industri seperti garam akan membawa efek berganda (multiplier effect) bagi perekonomian nasional. Selain itu, impor garam ini juga akan memberikan nilai tambah yang besar di dalam negeri.‎

Nilai tambah tersebut antara lain melalui kontribusi PDB sebesar Rp 1.100 triliun, penyerapan tenaga kerja sebanyak 4 juta orang, dan perolehan devisa dari ekspor mencapai US$ 30 miliar.

"Misalnya, impor bahan baku garam sebesar 3,7 juta ton yang senilai Rp 1,8 triliun, akan diolah menjadi berbagai macam produk dengan nilai tambah besar,” tandas dia.

Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menyatakan, impor garam untuk kebutuhan industri juga bukan hal yang baru. Impor ini sudah dilakukan sejak beberapa tahun lalu.

“Pemerintah mengimpor garam untuk kebutuhan industri. Sedangkan untuk garam konsumsi, masih akan dipenuhi oleh industri garam nasional,” kata dia.

Kebijakan untuk mempermudah pemenuhan kebutuhan bahan baku garam bagi industri sejalan dengan beberapa regulasi, seperti Undang-Undang (UU) Perindustrian.

Selain itu UU Penanaman Modal, UU Perdagangan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2015 tentang Pembangunan Sumber Daya Industri.

 


Sesuai Kebutuhan Industri

Ilustrasi Garam (iStockphoto)​

Meski sempat terjadi polemik, toh akhirnya angka 3,7 juta ton menjadi hasil akhir volume garam yang akan diimpor. Keputusan pemerintah pun diapresiasi pengusaha.

Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani menilai, impor garam industri sebanyak 3,7 juta ton per tahun di 2018 akan cukup memenuhi kebutuhan industri.

"Logikanya cukup (3,7 juta ton per tahun). Impor ini kan buat bahan baku, karena produksi dan ekonomi kita sedang bergeliat. Jadi data yang dari industri lebih bisa dipegang karena kebutuhannya sudah jelas," tukas dia.

Senada, Ketua Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) Tony Tanduk mengatakan, keputusan Kemenko Perekonomian mengenai impor garam 3,7 juta ton tersebut sudah tepat.

"Sebenarnya angka kebutuhan kita itu dinamis, tapi kurang lebih ya segitu, 3,7 juta ton, bisa lebih sedikit tapi bisa berkurang sedikit juga," kata Tony kepada Liputan6.com.

Angka tersebut sebenarnya kebutuhan tahun 2017 dan belum termasuk perkiraan peningkatan kebutuhan di 2018. Meski demikian, kalaupun ada peningkatan, selisih tidak terlalu banyak, hanya sekitar 200-300 ribu ton.

Tony mengatakan, kebutuhan bahan baku garam untuk industri makanan dan minuman meningkat setiap tahun. Ini sejalan dengan peningkatan ekonomi dan jumlah penduduk baik di dalam negeri atau luar negeri.

Mengenai polemik impor garam, menurut Tony, ini hanyalah persoalan kurangnya koordinasi antar lembaga di pemerintahan. Hal itu yang kemudian berdampak pada perbedaan data antar kementerian terkait.

"Soal impor garam ini pokok masalahnya hanya tidak ada kecocokan harga. Ini hampir mirip dengan kasus impor beras," ujar dia. 

Berdasarkan data, total kebutuhan garam nasional terus meningkat dalam waktu enam tahun belakangan. Pada 2010, jumlah kebutuhan garam nasional mencapai 3 juta ton. Jumlah ini mengalami peningkatan sebesar rata-rata 4,3 persen per tahun menjadi 3,75 juta ton pada 2015.

Peningkatan kebutuhan garam tersebut didominasi oleh garam industri yang naik rata-rata 6,8 persen per tahun selama 2010 hingga 2015. Sementara itu, kebutuhan garam konsumsi hanya naik 0,4 persen per tahun.

Pada 2014 yang lalu, Kementerian Perindustrian pernah memproyeksi kalau kebutuhan garam nasional akan naik 50 ribu ton setiap tahunnya.

Sementara itu jumlah produksi dalam negeri tetap belum sebanding dengan jumlah kebutuhannya. Contohnya pada 2015, total kebutuhan 3,75 juta ton dipenuhi oleh 2,8 juta ton garam hasil produksi nasional lalu sisanya dari impor.

Sementara itu, pada 2016, produksi garam nasional selama 2016 hanya mencapai 4 persen dari target. Produksi garam selama 2016 hanya 144 ribu ton dari target 3 juta ton.


Impor untuk Kendalikan inflasi

Ilustrasi Inflasi (iStockphoto)

Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, melihat keputusan impor garam industri, beras khusus, sampai gula mentah tahun ini sebagai jalan pintas pemerintah untuk mengendalikan inflasi di tahun politik.

Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018, pemerintah mematok inflasi sebesar 3,5 persen. Pemerintah Joko Widodo (Jokowi) mengarahkan laju inflasi ke level rendah di bawah 4 persen. Tahun ini, target inflasi 3,5 persen atau lebih rendah dibanding realisasi 3,61 persen di 2017.

"Keputusan pemerintah impor untuk menjaga inflasi tetap rendah, apalagi menjelang bulan-bulan politik (tahun politik). Kalau (inflasi) naik, ngeri nih," kata Burhanuddin.

Pengendalian inflasi yang dilakukan pemerintah, menurut dia, adalah dengan mengendalikan harga komoditas seperti garam, beras, dan lainnya. Sebab selama ini, faktor penyumbang utama inflasi di Indonesia ada di sektor pangan.

"Buat masyarakat yang penting ada barangnya. Mau beli gula, garam, beras, ada barangnya. Jadi harga stabil dan inflasi tetap rendah. Jadi pemerintah mencari landasan yang pas atau menyenangkan buat mereka (masyarakat) demi inflasi rendah," jelas Burhanuddin.

 

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya