Liputan6.com, Palu - Keberadaan buaya berkalung ban menggegerkan warga Kota Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng), bahkan mengundang perhatian seantero Indonesia. Tak tinggal diam, Jawa Pos Group pun mengundang Muhammad Panji sang penakluk reptil buas untuk datang ke Palu, hanya untuk melepaskan ban sepeda motor yang menjerat seekor buaya dalam kurun waktu setahun terakhir.
Sontak saja kedatangan pemuda usia 28 tahun yang berjuluk Panji Petualang itu menjadi buah bibir masyarakat setempat. Warganet pun turut membicarakan pergulatan Panji untuk menemukan amfibi karnivora tersebut.
Di tengah kegaduhan operasi penyelamatan buaya berkalung ban oleh Panji, tiba-tiba beredar dua foto bersejarah mengenai keberadaan buaya di muara Sungai Palu. Adalah akun Tati Tahir di Facebook yang mengunggah dua foto tempo dulu Kota Palu berikut tiga keterangan fotonya.
"Buaya di Sungai Palu keberadaannya sejak tempo doeloe hingga zaman now penuh cerita misteri dan mistik," tulis dia dengan melampirkan dua foto mengenai buaya muara atau buaya bekatak yang memiliki nama Latin Crocodylus porosus itu, dikutip Liputan6.com, Rabu (24/1/2018).
Baca Juga
Advertisement
Dua foto yang diunggah memperlihatkan keberhasilan masyarakat dalam menangkap buaya. Sementara, tiga keterangan foto berisi tulisan sejarah mengenai keberadaan buaya di Sungai Palu.
Dalam tulisan itu, Tati Tahir mengungkapkan bahwa di tahun 1935 terjadi teror buaya yang mengegerkan masyarakat Bungi, wilayah sekitar Jembatan 2 Palu.
Buaya Berjuluk La Goroba
Kala itu, terjadi penyerangan buaya yang menyebabkan tewasnya warga setempat di muara Sungai Palu. Korban yang saat itu berprofesi sebagai penambang pasir konon ditelan bersama gerobak pasirnya.
Sejak itulah, buaya berukuran besar itu dijuluki La Goroba atau dalam Bahasa Indonesia memiliki arti si gerobak.
Cerita pun berlanjut. Kekhawatiran masyarakat setempat akan bertambahnya korban dari keganasan La Goroba kemudian ditindaklanjuti seorang pria keturunan Jerman di Palu, yang bernama John Fischer (Tuan Fischer), bersama anaknya yang kerap dipanggil tuan muda Fischer.
Disusunlah skenario penembakan La Goroba, oleh masyarakat keluarga tuan Fischer memang terkenal dengan keahliannya dalam hal tembak-menembak, sehingga rencana skenario penembakan sang karnivora mendapat respons positif oleh masyarakat waktu itu.
"Yang menarik dari skenario itu adalah peluru yang digunakan untuk menembak sang karnivora adalah peluru yang sudah dilapisi emas. Hal ini dilakukan karena warga percaya bahwa buaya La Garoba bukanlah buaya sembarangan," tulis akun Tati Tahir dalam keterangan foto itu.
Advertisement
Peluru Emas Tuan Muda Fischer
Setelah diumpan dengan seekor ayam hidup, tuan muda Fischer selaku sang eksekutor, langsung menembak kepala La Goroba dengan peluru emasnya. Seketika itu pula air sungai berubah menjadi merah.
Dengan demikian dipastikan berakhirlah dominasi La Goroba di muara Sungai Palu. Guna mengabadikan keberadaan La Goroba, Tuan Fischer difoto duduk di atas buaya mati tersebut.
Selanjutnya, fisik La Goroba diarak oleh warga ke Kampong Bungi, untuk kemudian dibelah perutnya. Warga pun terkaget setelah melihat potongan tubuh manusia berada dalam perut La Goroba.
Tati Tahir pun menulis, cerita ini dikutip berdasarkan wawancara dengan turunan kedua John Fischer.
Kini, dua foto dokumentasi sejarah itu dapat dilihat di laman Koninklijk Instituut voor Taal-Land-en Volkenkunde atau KITLV (Lembaga Ilmu Bahasa, Negara, dan Antropologi Kerajaan Belanda). Selain itu, dua foto tersebut dapat disaksikan di ruang pamer Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Kota Palu di Kompleks Pasar Tua Bambaru.
Saksikan video pilihan di bawah ini: