Liputan6.com, Jakarta - Vereenigde Oost-Indische Compagnie atau VOC adalah perusahaan multinasional pertama di dunia. Ia bahkan menjadi perusahaan bernilai paling besar sepanjang sejarah. Sebagian pundi-pundi kekayaannya dikeruk dari Indonesia.
Dilansir dari laman DutchReview.com pada Rabu (24/1/2018), aset VOC diperkirakan sebesar US$ 7,9 triliun atau sama dengan gabungan nilai 20 perusahaan papan atas di era modern, termasuk Google dan Apple.
Namun, umurnya hanya bertahan sekitar 200 tahun saja. VOC yang lahir pada 1602 tamat pada 1799.
Keserakahan, kebobrokan moral, mengakhiri riwayatnya. Sejumlah orang mengatakan, VOC bubar akibat karma atas kekejamannya.
Baca Juga
Advertisement
VOC awalnya hanya mendapatkan izin monopoli dagang di Asia selama 21 tahun.
Namun lisensi dagang itu ternyata mencakup juga izin untuk menjajah, memerangi para pesaing, dan menjamin ketersediaan komoditas perdagangan yang stabil. Segala cara dilakukan, yang paling sadis sekalipun.
Di daerah yang dikontrolnya, VOC "mahakuasa". Kongsi dagang itu menegosiasikan perjanjian dengan penguasa lokal, mencetak uang, membentuk tentara yang penindas.
VOC menjajah wilayah yang kelak jadi Indonesia, mengeruk kekayaannya, menukar Manhattan, New York dengan Pulau Run demi melanggengkan monopolinya atas pala (nutmeg).
Seperti dikutip dari GlobalFinancialData.com, operasional VOC di Batavia, Hindia Belanda, digerogoti oleh praktik korupsi. Jual beli jabatan biasa dilakukan. Sogokan wajib diberi jika seseorang ingin menjadi pegawai atau mendapat jabatan penting.
Orang-orang saling berlomba memiliki kursi jabatan di VOC agar dapat mengeruk kekayaan. Alhasil korupsi di perusahaan multinasional pertama itu merajalela.
Gaji yang rendah di VOC dianggap faktor yang mendorong para pegawainya melakukan praktik nakal, yang akhirnya merugikan kinerja perusahaan.
Tak cuma itu, sistem upeti juga terjadi di VOC. Pejabat yang lebih rendah harus memberi upeti kepada pejabat di atasnya. Korupsi pun terjadi di setiap lini VOC. Belum lagi perang yang terjadi dengan kerajaan dan masyarakat pribumi yang membutuhkan banyak uang membuat kondisi keuangan VOC makin kritis.
Sejak 1790-an ke depan, singkatan VOC bahkan dipelesetkan jadi vergaan onder corruptie alias "hancur karena korupsi".
Modal dari Utang
Seiring perkembangan pesat VOC sebagai kongsi dagang terbesar di dunia, Amsterdam pun mulai menjelma menjadi pusat keuangan dunia sejak medio pergantian Abad ke-18.
Keberhasilan VOC memonopoli perdagangan rempah di Asia, membuat ruang gerak para pesaingnya, Portugis dan Inggris, kian sempit. Kondisi itu membuat VOC meningkatkan keuntungannya hingga lebih dari 400 persen, konstan hampir tanpa cela selama kurang lebih dua abad.
Keuntungan sebesar itu tidak didapat dengan mudah oleh VOC. Butuh pinjaman ke beberapa pihak, termasuk Kerajaan Belanda, untuk mendanai operasionalnya di Asia. Hingga kemudian, VOC menciptakan metode yang kita kenal sekarang sebagai saham.
VOC mengubah metode perputaran modal selamanya dengan cara yang tidak dimengerti oleh khalayak luas kala itu.
Perusahaan tersebut memperkenalkan konsep tanggung jawab terbatas untuk para pemegang sahamnya, di mana memungkinkan untuk meraih pembiayaan operasional dalam skala besar.
Konsep tanggung jawab terbatas diberlakukan karena VOC berusaha menghindari tanggung jawab kompleks kepada investor terbesar, jika perusahaan tersebut kolaps.
Sementara pada investor-investor kecil yang terbatas, VOC berkesempatan menghimpun dana dalam jumlah besar, namun memiliki tanggung jawab yang sifatnya kecil dan merata di masing-masing investor.
Advertisement
Modal dari Utang
Keuntungan terus berlanjut, namun VOC mulai sadar untuk mendiversifikasi komoditi dagangnya, tulis laporan panjang laman GlobalFinancialData.com pada Rabu, 24 Januari 2018.
Mereka juga terpaksa menurunkan margin untung sebagai upaya melemahkan daya tawar kongsi dagang Kerajaan Inggris yang kian berkembang di India dan China.
Suku bunga yang lebih rendah di Bursa Saham Amsterdam memungkinkan VOC membiaya lebih banyak perdagangan melalui sumber dana utang.
Namun konsekuensinya, perusahaan harus membayar dividen tinggi, yang terkadang didanai dari pinjaman. Akibatnya, VOC memliki neraca perdagangan yang tidak sehat, di mana rasio antara modal dan keuntungan kian mendekati seimbang selama eksistensinya di Abad ke-18.
Selain itu, kemunduran juga terjadi Bursa Saham Amsterdam, yakni ketika menuju akhir abad ke-18 hanya tercatat dua perusahaan besar yang melantai di bursa saham tersebut, yakni VOC dan Kongsi Dagang Hindia Barat (WIC) yang berfokus niaga di Srilanka dan Afrika Selatan.
Dominasi keduanya membuat pergerakan saham menurun, sehingga membuat Kerajaan Balanda -- salah satu investor aktif di bursa saham tersebut, sekaligus kreditur paling lunak -- mengalihkan strategi investasinya ke luar negeri.
Hal ini membuat VOC terpaksa mengalihkan sebagian kegiatan sahamnya ke London, yang belakangan menjadi pusat keuangan dunia, sebelum kemudian direbut oleh New York pada akhir Abad ke-19.
Hal itu kian diperparah dengan fakta bahwa Kerajaan Belanda tidak memiliki penerbit utang terpusat, seperti yang dilakukan oleh Prancis dan Rusia, dua negara yang sejatinya meniru konsep Bursa Efek Amsterdam. Akibatnya pamor Amsterdam sebagai pusat keuangan pun lambat laun memudar.
Para investor merasa kurang yakin dengan prospek yang akan didapat jika berinvetasi di Amsterdam, dan memilih mengalihkannya ke Paris, Moskow, atau London.
Pada 1795, total utang VOC mencapai 136,7 juta gulden, yang jika dirupiahkan mencapai puluhan triliun. VOC tak lagi bisa tertolong. Pemerintah Kerajaan Belanda akhirnya memutuskan untuk membubarkannya pada 31 Desember 1799.
Setelahnya, semua utang dan kekayaan VOC diambil alih oleh pemerintah Belanda.