DPR Bakal Panggil Kementerian PUPR soal Insiden Proyek LRT

Wakil Ketua Komisi V DPR Sigit Sosiantomo menyayangkan peristiwa insiden jatuhnya box girder pada proyek LRT di Kayu Putih.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 24 Jan 2018, 19:45 WIB
Suasana dari ketinggian konstruksi tiang beton Light Rail Transit (LRT) yang roboh di Kayu Putih, Jakarta Timur, Senin (22/1). Belum diketahui penyebab ambruknya span P28-P29 Proyek LRT yang terjadi pada dini hari tersebut. (Liputan6.com/Arya Manggala)

Liputan6.com, Jakarta - Maraknya kecelakaan kerja dalam proyek infrastruktur, seperti insiden jatuhnya box girder pada proyek Light Rail Transit (LRT) di Kayu Putih, Jakarta pada Senin 22 Januari 2018, membuat Komisi V DPR-RI berencana memanggil Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

Wakil Ketua Komisi V DPR, Sigit Sosiantomo menyampaikan, pihaknya sangat menyayangkan peristiwa yang menyebabkan lima orang terluka tersebut.

"Kecelakaan kerja seperti ini sudah berulang, seharusnya bisa dihindari jika aspek keselamatan dan keamanan dipenuhi penyedia jasa konstuksi," kata Sigit seperti dikutip pada Rabu (24/1/2018).

Seperti yang tertera dalam pasal 52 UU Nomor 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (Jaskon), Sigit berkata penyedia jasa serta sub penyedia jasa konstruksi harus memenuhi empat standar, yaitu standar keamanan, keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan.

"Jika tidak, penyedia jasa dapat dikenakan sanksi administratif, mulai dari peringatan tertulis, penghentian sementara konstruksi, hingga pencabutan izin sebagaimana diatur dalam pasal 96 UU Jaskon," tutur dia.

Insiden kecelakaan kerja serupa tercatat sudah berulang kali terjadi. Seperti pada awal bulan ini, ketika box girder terjatuh akibat tersenggol alat berat di proyek pembangunan jalan Tol Depok-Antasari, Jakarta.

"Karena kejadian ini sudah berulang kali, Komisi V akan memanggil Kementerian PUPR, khususnya Dirjen Bina Konstruksi, untuk mengevaluasi apakah sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja pada proyek kontruksi sudah diterapkan, atau baru sebatas sosialisasi saja. Jangan sampai, regulasinya sudah ada, tapi tidak diterapkan," kata Sigit.

Pada 2017, Pemerintah telah merilis Surat Edaran Menteri PUPR Nomor 66/SE/M/2015 tentang Biaya Penyelenggaraan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum. Kebijakan tersebut dibuat untuk meningkatkan tingkat kepatuhan kontraktor terhadap SMK3.

"Komisi V akan menagih komitmen PUPR selaku regulator dalam pengawasan dan evaluasi penyedia jasa kostruksi, terkait apakah pemerintah sudah melakukan pembinaan dan penerapan sanksi kepada penyedia jasa yang tidak memenuhi SMK3," tutur Sigit.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 


PUPR Umumkan Hasil Audit Robohnya LRT pada Pekan Ini

Foto udara memperlihatkan kondisi konstruksi tiang beton Light Rail Transit (LRT) yang roboh di Kayu Putih, Jakarta Timur, Senin (22/1). Akibat kecelakaan tersebut, ada lima pekerja dari sub-kontraktor LRT menjadi korban. (Liputan6.com/Arya Manggala)

Sebelumnya, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tengah mengaudit gagal kontruksi atau robohnya box girder proyek LRT Velodrome-Kelapa Gading pada Senin dini hari 22 Januari 2018. Hasil audit akan disampaikan ke publik Jumat pekan ini.

Menteri PUPR Basuki Hadimuljono mengatakan, beberapa peristiwa gagal konstruksi menjadi perhatian Kementerian PUPR. Sebab itu, pemerintah melakukan audit peristiwa ini.

"Kita sedang diaudit oleh Balitbang untuk sepertinya halnya kemarin Batang-Semarang sudah ketemu, BEI juga kita sedang diaudit, dan ketiga LRT ini," kata dia di Istora Senayan Jakarta, Selasa 23 Januari 2018.

Selain mengumumkan hasil audit, Kementerian PUPR akan mengumumkan pembentukan Komite Keselamatan Konstruksi. Komite ini nantinya akan memiliki peran seperti halnya Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT). Komite tersebut akan memiliki peran mengaudit masalah.

"Jadi sambil menyampaikan hasil auditnya, kita launcing juga Komite Keselamatan Kontruksi. Jadi Komite Keselamatan Kontruksi ini seperti KNKT itu," ujar dia.

"Di dalamnya ada pakar, bukan hanya PU sehingga independen," tambah Basuki.

Basuki mengatakan, ada sejumlah sanksi jika kontraktor terbukti bersalah. Sanksi tersebut bertingkat seperti diatur Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi.

"Ada 5 tingkatan dalam UU Nomor 2 Jasa Kontruksi ada 5 tingkatan untuk sanksi itu. Bisa peringatan keras tertulis, pasti ada peringatan satu, dan ada lagi. Kemudian denda, kemudian ada pembekuan sementara sampai dengan pencabutan izin. Itu di UU bukan pidana tapi perdata," ujar dia.

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya