Djayadi Hanan: Pilkada 2018 Cenderung Aman dari Isu Primordial

Menurut Djayadi, potensi penggunaan isu primordial di pilkada mendatang tidak akan tinggi dan tidak akan laku lagi.

oleh Yunizafira Putri Arifin Widjaja diperbarui 25 Jan 2018, 07:29 WIB
Djayadi Hanan (Liputan6.com/HelmiFithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Banyak pihak yang khawatir jika isu SARA akan kembali muncul pada Pilkada 2018 ataupun ketika Pilpres 2019. Hal itu melihat ramainya isu primordial dan pertentangan dalam pilkada sebelumnya.

Namun, Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) Djayadi Hanan menilai, tidak perlu terlalu merasa khawatir akan dipergunakannya kembali isu-isu tersebut di Pilkada 2018.

Menurut dia, potensi penggunaan isu primordial di pilkada mendatang tidak akan tinggi dan tidak akan laku lagi. Karena untuk bisa menguatkan isu primordial dalam suatu kontestasi pemilu, dibutuhkan beberapa syarat. Djayadi menyebutkan, banyak daerah nantinya yang tidak akan memenuhi syarat tersebut.

"Jadi kalau dilihat ada ancaman atau tidak, kayaknya tidak terlalu kompetitif. Walhasil kita boleh bergembiralah dilihat dari perilaku politiknya," ucap Djayadi ditemui di Megawati Institut Jakarta Pusat, Rabu (24/1/2018).

Djayadi menyebutkan, syarat-syarat yang dimaksud adalah jika pemilu tersebut bersifat kompetitif, antara satu calon dan calon lainnya memiliki kubu pendukung yang sama-sama kuat atau terpolarisasi. Sebagai contoh ketika Pilpres 2014, kubu pendukung calon Presiden Jokowi dan Prabowo sama kuatnya.

Hal lainnya, jika masing-masing calon dianggap merepresentasikan dari suatu identitas yang berbeda. Bisa dari suku, daerah, ataupun agama tertentu. Menurut Djayadi hal itu dapat menguatkan isu-isu primordial. Karena dirasa dapat memunculkan ancaman dari masing-masing identitas.

"Misal dari calon A mewakili Jawa, calon B mewakli Palembang. Akan laku isu itu (primordial)," ujar Djayadi.


Faktor Identitas Melemah

Direktur SMRC, Djayadi Hanan memaparkan hasil surveinya atas Kinerja Pemerintahan Jokowi-JK Kuartal Pertama 2016, Jakarta, Minggu (17/4/2016). Kepercayaan publik pada Jokowi terus menguat mencapai 72 persen. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Peneliti SMRC ini pun mengatakan bahwa penguatan identitas yang diangkat ketika pemilu, bukanlah suatu momok yang harus ditakuti.

Pada dasarnya, faktor seseorang dalam memilih sendiri memang dipengaruhi oleh banyak faktor. Seperti demografi, sosiologi, umur, gender, suku, agama, dan lainnya.

"Perilaku memilih kita memang selalu gabungan dari itu tadi. Identitas memang suatu yang laten ada di kita, suatu saat akan muncul," kata Djayadi.

Faktor identitas itu pun cenderung akan melemah dalam konteks pemilu, ketika syarat-syarat untuk terjadi hal tersebut tidak dapat terpenuhi.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya