4 Perlakuan Keji Manusia yang Ancam Keberadaan Orangutan

Sebagian manusia masih menjadi ancaman bagi keberadaan orangutan yang kerap mendapat perlakuan keji.

oleh Aceng MukaramRajana KAnendya Niervana diperbarui 25 Jan 2018, 12:14 WIB
Pelepasliaran orangutan di hutan Kalimantan. (Foto: Dokumentasi Yayasan BOS/Liputan6.com/Rajana K)

Liputan6.com, Jakarta - Mengenaskan adalah kata yang paling tepat menggambarkan penemuan jasad orangutan di Sungai Barito, Kalimantan Tengah, Senin, 15 Januari 2018. Tak hanya tanpa kepala, orangutan jantan itu juga ditemukan tanpa bulu.

Tangannya bahkan hampir putus. Ketika menemukannya, warga sempat mengira orangutan itu sebagai jasad manusia. Dia diperkirakan tewas tiga hari sejak jasadnya ditemukan.

Hasil autopsi menunjukkan orangutan tersebut terlibat konflik dengan manusia. Di tubuhnya ditemukan sejumlah luka siksaan.

Orangutan tersebut adalah korban pembunuhan oleh manusia. Kesimpulan itu diperkuat dengan temuan peluru senapan angin di beberapa organ vital.

Manajer Perlindungan Habitat Center for Orangutan Protection (COP), Ramadhani, menilai pemerintah tak serius menanggapi kematian satwa endemik ini. Data COP menunjukan, sejak 2011, sebanyak 11 orangutan tewas tidak wajar di Kalimantan Tengah.

"Dari 11 kasus ini sampai yang minggu kemarin itu, hanya satu yang maju pengadilan. Kenapa terus berulang? Karena efek jeranya tidak ada. Baru satu kasus yang diusut tuntas sampai diberi putusan hukum," sesal Ramadhani saat dihubungi Liputan6.com, Jumat, 19 Januari 2018.

Tak hanya dibunuh, ada berbagai tindakan keji yang dialami orangutan. Fauna yang populasinya terancam punah ini pernah dijadikan budak seks. Berikut beberapa peristiwa kekejaman manusia terhadap orangutan.


Dijadikan Budak Seks

Pelepasliaran orangutan di hutan Kalimantan. (Foto: Dokumentasi Yayasan BOS/Liputan6.com/Rajana K)

Seekor orangutan betina bernama Pony sempat dijadikan budak seks oleh seorang germo yang tidak diketahui identitasnya. Kasus ini terjadi pada 2007 silam.

Saat itu Pony hidup di lokalisasi Kereng Pangi, Kalimantan Tengah. Sejak usia 5 tahun Pony sudah diajarkan melayani para konsumen.

Sang germo mengaku Pony adalah primadona di tempat usahanya. Meski banyak pekerja seks manusia, banyak pelanggan yang lebih memilih Pony.

Alasannya pun di luar akal sehat: karena ingin merasakan sensasi berhubungan badan dengan orangutan. Bulu Pony dicukur habis agar pelanggan nyaman. Akibatnya Pony mengalami iritasi kulit.

Saat ditemukan Organisasi Penyelamatan Orangutan Borneo, Pony tengah dirantai dan terbaring di atas matras. Butuh waktu bertahun-tahun hingga Pony dapat dibebaskan.

Bahkan, regu penyelamat sempat terlibat konflik bersenjata dengan warga karena Pony dianggap aset berharga dan sumber rezeki. Perjuangan terhadap Pony tak berhenti sampai di situ.

Pony menunjukkan perilaku yang memprihatinkan selama proses rehabilitasi. Karena terbiasa "melayani", Pony langsung berlaku genit apabila dihampiri petugas rehabilitasi laki-laki. Bahkan, Pony menolak dirawat oleh petugas perempuan.

Pony juga tidak bisa mandiri akibat perlakuan bertahun-tahun yang diterimanya selama di tempat prostitusi, ia selalu disuapi manusia. Pony juga tidak memiliki keahlian memanjat.

Ia juga mengiba makanan dari para petugas yang ditemuinya dan tidak memiliki inisiatif untuk mencari buah sendiri. Setelah dimasukkan ke dalam sekolah rehabilitasi, ia dinyatakan gagal saat dilepas ke alam bebas.

Pony belum menunjukkan perilaku mandiri, ia selalu berada di tanah dan enggan mengeksplorasi hutan serta mengharap makanan dari para petugas.

Pada 2013, Pony dilepas kembali ke alam liar. Kali ini Pony sudah menunjukkan perkembangan, ia mampu bertindak "liar". Pony sudah aktif di hutan dan mampu mencari sumber pangan sendiri. Bahkan ia mampu bertahan hidup saat cuaca ekstrem melanda.


Dimasak

Seekor orangutan dibunuh dan dagingnya dibagikan untuk dikonsumsi atau dimasak di Kapuas, Kalimantan Tengah. (Foto: Istimewa)

Satu tahun silam, beredar sebuah foto pembantaian terhadap orangutan di Kalimantan Tengah. Tak hanya dibunuh, daging orangutan itu dimasak untuk dikonsumsi oleh warga.

Menurut Humas Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF) Nyaru Menteng yang akrab disapa Agung, kejadian itu terjadi pada Sabtu, 28 Januari 2017 di sebuah perusahaan kelapa sawit di Desa Tumbang Puroh, Kalimantan Tengah.

"Di sini saya mendapatkan cerita dari seseorang tanpa identitas yang menelepon saya dan menceritakan kejadiannya dan dilengkapi dengan foto kejadian," ucapnya dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, Rabu, 15 Februari 2017.

Saksi pertama adalah operator alat berat Jhondre yang sedang bekerja melangsir buah sawit. Saat itu, ia bertemu orangutan di lahan dan kemudian mengejarnya.

Setelah tiba di Camp Tapak, dia langsung bercerita pada beberapa teman kerja yang saat itu berada di sana. Sejumlah teman kerja sekaligus warga desa sekitar tertarik untuk mencari lagi keberadaan orangutan dengan operator Jhondre tersebut.

Tiba di Blok F11 atau F12, mereka bertemu kembali dengan orangutan tersebut. Mereka pun siap dengan senjata angin rakitan yang dibawa dan digunakan untuk menembak orangutan.

Wakil Ketua Komisi IV DPR Daniel Johan mengaku menerima foto pembantaian orangutan tersebut. Daniel sempat mendorong pelapor untuk memberitahu kepolisian resor atau polres setempat. "Tapi dia tidak berani karena pihak perusahaan mengancam agar tidak ada yang tahu (pembunuhan orangutan tersebut)."

Ketika itu, peristiwa pembantaian terhadap orangutan ini mengundang kecaman dunia. Bahkan, beberapa media internasional sempat memberitakannya. Tahun lalu, kasus ini dikategorikan sebagai kasus pembantaian orangutan terparah dalam setahun terakhir. Tiga pelaku dijatuhi hukuman penjara.


Dibantai karena Dianggap Hama

Pembantaian orangutan di perusahaan sawit terungkap dari beredarnya foto-foto di media sosial.

Pembunuhan terhadap orangutan terus terjadi. Terakhir, jasad orangutan tanpa kepala ditemukan mengambang di Sungai Barito Kalimantan Tengah, Senin 15 Januari 2018.

Berdasarkan hasil autopsi, orangutan jantan itu disimpulkan tewas dibunuh oleh manusia. Hal itu diperkuat dengan temuan sejumlah luka yang memenuhi sekujur tubuh orang utan. Beberapa peluru senapan angin yang menyasar organ vitalnya diduga kuat menjadi penyebab utama kematian.

Pendiri dan koordinator Jakarta Animal Aid Network, Femke Den Haas, mengatakan pembantaian terhadap orangutan erat kaitannya dengan pembukaan lahan untuk industri kelapa sawit.

Orangutan kesulitan mencari habitat dan sumber pangan karena terus terkikis oleh pembukaan lahan baru untuk sawit. Karena itu, satwa endemik ini menyasar perkebunan sawit.

"Orangutan kan pasti akan berkeliaran di dalam kebun sawit karena dia sangat kelaparan dan mencari makanan apapun yang ada. Nah di kebun-kebun sawit memang enggak ada apa pun yang bisa dimakan selain pohon yang baru tumbuh ditanam karena daun-daunnya masih muda. Jadi itu yang dimakan orangutan," papar Femke kepada Liputan6.com, Jumat, 19 Januari 2018.

Menurut Femke, perusahaan kelapa sawit sering kali menginstruksikan pembunuhan terhadap orangutan kepada pegawai karena dianggap hama yang mengganggu cikal bakal tanaman. Apalagi karyawan kerap kali tidak mengetahui orangutan adalah satwa yang dilindungi.

Femke mengakui pemerintah memang belum serius menanggapi kasus pembantaian fauna yang populasinya terancam punah ini. Wanita berkebangsaan Belanda itu menilai pemerintah terlibat konflik kepentingan dalam melindungi satwa endemik maupun hutan di Indonesia.

"Pemerintah kurang tegas karena di satu sisi melindungi ekonomi, di satu sisi ada aturan untuk melindungi satwa, tetapi mengalah dengan ekonomi," beber Femke.


Dijual Online

Seorang warga Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat harus mendekam di penjara akibat perbuatannya menjual orangutan secara online.

Ia dijatuhi hukuman kurungan penjara delapan bulan dan denda Rp 5 juta karena terbukti secara sengaja menyimpan, memelihara, dan memperdagangkan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup sesuai dengan Pasal 40 Ayat 2 jo Pasal 21 Ayat 2 UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Kejadian bermula saat terdakwa menjual dua ekor bayi orangutan yang didapat dari warga di Kabupaten Melawai. Dia menyuplai bayi orang utan kepada seorang pedagang online yang kini tengah berstatus terpidana. Dari transaksi yang berlangsung pada Agustus 2017 itu, terdakwa berhasil meraup Rp 4 juta dari penjualan dua ekor bayi orangutan.

Kepala Seksi Balai Gakkum KLHK Kalimantan Seksi Wilayah III Pontianak, David Muhammad, mengimbau agar masyarakat tidak melakukan transaksi jual-beli terhadap satwa yang dilindungi.

"Terkait telah divonisnya para pelaku penjual dan penyuplai satwa orangutan di Kalimantan Barat, kami mengimbau kepada masyarakat agar tidak lagi melakukan praktik-praktik penjualan satwa orangutan dan satwa lain yg dilindungi UU baik secara online mapun terbuka," kata David Muhammad, Jumat (19/1/2018), kepada Liputan6.com.

David Muhammad menegaskan pemerintah tidak main-main dalam penegakan hukum. Maka dari itu, ia menegaskan kepada siapa saja yang terbukti melakukan pelanggaran akan segera ditindak.

"Karena akan kami selidiki dan tindak sesuai perundangan yang berlaku. Apabila masyarakat ada menemukan satwa satwa dilindungi tersebut dapat segera menghubungi aparat terkait untuk dilakukan penyelamatan dan penindakan," kata David Muhammad.

Orang utan memang selalu menjadi daya tarik sebagai hewan peliharaan. Satwa endemik ini memang menunjukkan status sosial yang tinggi apabila dipelihara.

Pada 2016, polisi Bangkok menemukan dua bayi orangutan Sumatra yang diselundupkan. Mereka ditempatkan dalam sebuah keranjang yang diletakkan di bagian belakang taksi. Sayangnya tak satupun pelaku bisa dihukum karena penjualan dua bayi orang utan Sumatra tersebut melibatkan sindikat geng kriminal besar.

Saksikan Video Pilihan di Bawah ini

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya