Liputan6.com, Tokyo - Bau busuk menyeruak dari sebuah apartemen kecil di Kota Kawasaki, Jepang. Di dalamnya, terlihat seonggok mayat yang terkapar di kasur. Ada noda coklat mengelilingi tubuh tak berdaya itu. Kasur, pakaian hingga majalah disekitar mayat penuh dengan belatung dan lalat.
Inilah pemandangan yang sudah jadi santapan sehari-hari Akira Fujita. Pria asal Negeri Matahari Terbit ini bekerja sebagai pemimpin tim kebersihan khusus di bawah bendera perusahaan Next. Tugas hariannya sederhana, ia harus membersihkan tempat tinggal warga Jepang yang meninggal dunia dalam kesendirian.
Baca Juga
Advertisement
Pada hari itu, Akira ditugaskan untuk membersihkan apartemen yang terletak di sebelah Selatan Tokyo. Sang pemilik apartemen tampaknya menghabiskan hidup seorang diri. Nahas, ia pun harus meninggal dunia dalam keadaan kesepian dan baru ditemukan oleh manajemen gedung beberapa bulan kemudian.
"Saya pikir ada 4 dari 10 orang Jepang yang begini," tutur Akira seperti dilansir dari Washington Post, Sabtu (27/1/2018).
"Fenomena ini tengah banyak terjadi di Jepang," ungkapnya lagi.
Dalam beberapa tahun terakhir, jasa penyewaan tukang bersih-bersih khusus orang meninggal sendirian ini tengah digandrungi di Jepang. Hal ini disebabkan dari makin banyaknya penduduk negara Asia Timur itu yang menghembuskan napas terakhir tanpa memiliki sanak saudara.
Jasa bersih-bersih orang meninggal sendirian ini mengenakan tarif beragam. Kliennya biasanya merupakan pihak manajemen gedung, rumah tinggal atau apartemen.
Semakin sulit sebuah ruangan dibersihkan, tarifnya akan semakin mahal. Namun biasanya pihak manajemen membayar sekitar US$ 2.250 atau Rp 29 juta agar properti miliknya bisa kembali bersih dan disewakan kembali ke publik.
Selanjutnya
Seperti halnya pemilik apartemen di Kawasaki tersebut, orang Jepang yang meninggal sendirian ini biasanya terjadi pada yang memutuskan untuk tidak menikah. Fenomena ini adalah hasil dari makin meningkatnya populasi penduduk Jepang yang memasuki usia senja. Kondisi ini diperparah dengan makin sedikit pula penduduk di negara tersebut yang memutuskan untuk hidup berpasangan dan berkeluarga.
"Konsep umum tentang keluarga di Jepang sudah banyak ditinggalkan. Jumlah penduduk Jepang yang hidup sendirian semakin banyak, jadi tak heran banyak orang yang meninggal dunia tanpa bala bantuan dari sanak saudara," tutur analis dari Universitas Tokyo, Masaki Ichinose.
Penduduk Jepang menyebut fenomena mati dalam kesendirian ini sebagai kodokushi. Tak ada angka resmi terkait kodokushi, tetapi kebanyakan ahli meyakini 30.000 orang mati dalam kesendirian per tahun.
Para pakar meyakini, banyak pria khawatir pekerjaan mereka terlalu genting untuk menetap dan memulai sebuah keluarga. Selain itu, lebih banyak wanita memasuki dunia kerja merasa tidak membutuhkan suami untuk mencukupi kebutuhan mereka.
Satu dari empat pria Jepang berusia 50 tahun tidak pernah menikah. Pada 2030, angka tersebut diperkirakan naik menjadi satu dari tiga pria.
Advertisement