Liputan6.com, Jakarta - Kasus mahar politik mulai bermunculan di Pilkada Serentak 2018. Mahar politik ini muncul dari pengakuan para calon kepala daerah yang gagal.
Usai pengakuan La Nyalla Mattalitti yang gagal menjadi calon Gubernur Jawa Timur karena dimintai mahar politik oleh Gerindra, bermunculan pengakuan lain dari berbagai daerah.
Advertisement
Nilai mahar yang diminta partai pun tak tanggung-tanggung. Hingga miliaran rupiah. Ada pula yang harus membayar Rp 350 juta per kursi di DPRD.
Berikut 4 kasus mahar politik yang mencuat ke publik:
1. Mahar politik di Pilkada Jatim
Buka-bukaan La Nyalla terkait adanya politik mahar diawali dengan pengungkapan soal adanya permintaan uang miliaran rupiah dari Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Nilainya fantastis, hingga puluhan miliar.
"Di Hambalang saya dipanggil ketemu sama 08 (Prabowo), disampaikan saya ingin maju (Pilkada Jatim) kemudian saya minta izin. Prabowo sempat ngomong, 'Kamu sanggup Rp 200 miliar?' Rp 500 miliar saya siapkan, kata saya, karena di belakang saya banyak didukung pengusaha-pengusaha muslim," ujar La Nyalla di kawasan Tebet, Jakarta, Kamis, 11 Januari 2018.
Tak hanya itu, dia juga mendapat kabar dari Ketua DPD Gerindra Jatim Supriyanto bahwa Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto meminta sebesar Rp 40 miliar untuk keperluan operasional di Pilkada.
"Uang saksi dari 68 ribu TPS dikali Rp 200 ribu per orang dan dikali 2 berarti Rp 400 ribu, itu sekitar Rp 28 miliar. Tapi, yang diminta itu Rp 40 miliar dan harus diserahkan sebelum tanggal 20 Desember (2017). Enggak sanggup saya. Ini namanya saya beli rekom. Saya enggak mau," ujar La Nyalla.
Awalnya, dia menganggap Prabowo memintanya uang miliaran rupiah untuk dapat menjadi cagub Jatim hanyalah bercanda.
Namun, ia kaget saat Prabowo menagihnya uang sebesar Rp 40 miliar untuk biaya saksi dalam Pilkada Jatim 2018. "Saya pikir main-main ternyata ditagih betul Rp 40 miliar. Alasannya untuk membayar uang saksi," kata La Nyalla.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon membantah tudingan La Nyalla terkait adanya permintaan uang sebesar Rp 40 milliar oleh Prabowo Subianto. Fadli mengaku tidak pernah mendengar ataupun menemukan bukti akan pernyataan itu.
Dia meyakini Prabowo hanya menanyakan kesiapan finansial La Nyalla sebagai kebutuhan logistiknya selama Pilkada Jatim 2018.
"Kalau misalnya itu terkait dipertanyakan kesiapan untuk menyediakan dana untuk pemilik yang digunakan untuk dirinya sendiri, itu sangat mungkin," kata Fadli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis, 11 Januari 2018.
Dia menjelaskan, logistik sangat dibutuhkan saat pertarungan, apalagi kebutuhan pilkada sangat besar. Seperti halnya untuk pemenangan baik digunakan untuk pertemuan, perjalanan, konsumsi, untuk saksi dengan jumlah tempat pemungutan suara yang sangat besar, hingga untuk gerakan relawan.
"Jadi saya kira wajar, bukan untuk kepentingan pribadi, kepentingan partai, tapi kepentingan yang bersangkutan," ujar Pelaksana Tugas (Plt) Ketua DPR RI itu.
Karena hal itu, Fadli menyebut terdapat kesalahpahaman di antara keduanya, sehingga permasalahan itu dapat dikomunikasikan kembali.
"Saya kira itu miskomunikasi. Saya kira bisa diperdebatkan apa yang dimaksud. Mungkin itu komunikasi saja," jelas Fadli.
Advertisement
2. Mahar Politik di Pilkada Kota Cirebon
Selain la Nyalla, permintaan uang kepada bakal calon kepala daerah sebagai jalan untuk mendapat rekomendasi partai politik maju Pilkada 2018 juga diduga terjadi di Kota Cirebon.
Hal itu diungkapkan salah satu bakal calon Wali Kota Cirebon Siswandi yang gagal mendaftar di KPU. Siswandi yang sedianya diusung Partai Gerindra, PAN, dan PKS tak diterima KPU lantaran tidak mendapat rekomendasi dari PKS.
Siswandi mengungkapkan ada pembicaraan yang berujung kepada nilai uang. Pembicaraan tersebut saat sore pada hari kedua pendaftaran bakal calon di KPU. "Awalnya hanya ratusan juta makin malam semakin besar jumlahnya sampai miliaran. Katanya setelah itu rekom turun," kata Siswandi, Sabtu 13 Janurai 2018.
Perwira tinggi polri yang pernah bertugas di Badan Narkotika Nasional (BNN) itu mengaku nominal mahar tersebut diminta oleh salah satu pengurus PKS di Kota Cirebon.
Siswandi pun menyerahkan semua pembicaraan tersebut kepada kuasa hukumnya. Namun demikian, dia mengaku kaget atas sikap PKS yang diduga tidak menurunkan rekomendasi lantaran tidak ada uang mahar.
Dia mengungkapkan, sore hari sebelum menyatakan abstain, PKS menyebutkan rekomendasi Siswandi-Euis sudah bisa dipastikan 90 persen dari PKS. "Sore, saat saya masih di kereta menuju Cirebon tim saya yang disuruh ke kantor PKS angkanya yang jelas sampai miliaran," kata purnawirawan Polri berpangkat Brigjen ini.
Siswandi mengaku semua kronologis dugaan permintaan mahar politik ada pada timnya. Dia juga menyayangkan sikap PKS yang dianggap tidak konsisten dengan koalisi umat.
Sementara, kata dia, Partai Gerindra dan PAN tidak pernah meminta mahar. "Sampai detik saya di KPU menunggu PKS datang bawa rekom saya tidak pernah mengeluarkan uang sepeserpun," beber dia.
Pilwalkot Cirebon dipastikan hanya diikuti oleh dua pasangan calon. Kepastian tersebut setelah pasangan Siswandi dan Euis tidak bisa memenuhi jumlah kursi, dikarenakan tidak turunnya rekomendasi dari PKS.
Di tempat yang sama, Ketua DPD PAN Kota Cirebon Dani Mardani juga mengaku kecewa atas sikap PKS. PAN, kata dia, sedang melakukan pemeriksaan terhadap kejadian tersebut.
"Jika PAN punya posisi sebagai legal standing untuk menggugat, kita akan lakukan gugatan," kata Dani.
Dani mengaku partainya dirugikan oleh PKS yang enggan mengeluarkan rekomendasi terhadap Siswandi. Padahal, Gerindra dan PAN telah mengeluarkan rekomendasi untuk Siswandi-Euis.
"Kami sedang berkordinasi dengan DPW dan DPP terkait gugatan ini. Kalau DPP mengizinkan, akan kita lakukan," ujar Dani.
Ketua DPD PKS Kota Cirebon, Karso, usai dimintai keterangan oleh Panwaslu mengaku tidak mengetahui proses terjadinya dugaan permintaan mahar oleh salah seorang oknum pengurus PKS.
"Saya sama sekali tidak tahu karena saat itu saya sedang koordinasi dengan DPD PAN dan Gerindra untuk mengurus proses bahan dan berkas pencalonan di kantor PKS pula," ujar Karso, Selasa 16 Januari 2018.
Dia mengungkapkan, saat itu di hari terakhir pendaftaran KPU, PKS bersama Gerindra dan PAN yang tergabung dalam Koalisi Umat sibuk mengurus kelengkapan berkas sejak pukul 14.30 WIB. Dia juga membantah adanya permintaan mahar untuk mengeluarkan rekomendasi kepada pasangan Siswandi-Euis.
Karso juga mengaku sudah mendengar "kicauan" Siswandi yang kecewa lantaran berujung pada permintaan mahar. Namun, kata dia, PKS tidak pernah meminta mahar politik untuk sebuah rekomendasi pada kontestasi pilkada serentak 2018.
"Tidak ada mahar dan saya sama sekali satu rupiah pun tidak minta mahar," ujar Karso.
3. Pilkada Palangka Raya
Adanya mahar politik dalam Pilkada Serentak 2018 diungkapkan lagi oleh pasangan John Krisli dan Maryono.
John Krisli-Maryono sebelumnya berencana mengikuti Pilkada Palangkaraya. Namun, langkah pasangan ini gagal karena tak bersedia membayar mahar politik itu.
ohn dan Maryono pun telah membeberkan hal ini kepada Panwaslu, Selasa 16 Januari 2018 malam.
"Saya ke sini bersama Maryono memenuhi undangan (Panwaslu) untuk berdiskusi dan menyampaikan apa yang saya rasakan berkaitan dengan mahar politik," ujar Jhon, saat tiba di Panwaslu Palangkaraya, Selasa malam.
Dalam pertemuan itu, ungkap John, ia menceritakan kronologi masalah yang menimpanya hingga akhirnya gagal mengikuti pemilihan wali kota dan wakil wali kota Palangkara 2018.
John mengaku diminta oleh Partai Gerindra di Palangkaraya untuk membayar uang satu kursi sebesar Rp 350 juta, agar mendapat rekomendasi partai yang dipimpin Prabowo Subianto itu. Di DPRD Kota Palangkaraya, Gerindra memiliki 4 kursi, sehingga total uang yang harus dikeluarkan Rp 1,4 miliar.
Tak hanya Gerindra, ia juga harus membayar uang kursi ke PPP sebesar Rp 1 miliar. PPP memiliki dua kursi di DPRD Kota Palangkaraya.
Partai Gerindra mengaku telah mengembalikan uang yang telah diserahkan oleh pasangan John Krisli dan Maryono.
John Krisli-Maryono sebelumnya berencana mengikuti Pilkada Palangka Raya. Namun, mereka kecewa karena telah dimintai mahar politik oleh Partai Gerindra.
Ketua DPW Gerinda Kota Palangka Raya, Ida Bagus Suprayatna, mengaku sudah mengembalikan uang sebesar Rp 350 juta. Namun, dia membantah uang tersebut adalah mahar politik. Uang itu, kata Ida, akan digunakan sebagai uang saksi.
"Sebenarnya kami DPW Gerindra sudah merekomendasikan pasangan Jhon Krisli. Namun yang menentukan itu DPP. Karena yang bersangkutan (Jhon Krisli) tidak direkomendasikan oleh DPP dan meminta uang saksi dan baleho dikembalikan, ya kami kembalikan," kata Ida Bagus di Palangka Raya, Kamis, 18 Januari 2019.
Menurut Ida, pada saat pejaringan bakal calon kepala daerah, Partai Gerindra sudah mengatakan pada seluruh calon bahwa tidak semua yang mendaftar akan diusung partai besutan Prabowo Subianto itu.
"Dan ternyata mereka kecewa karena tidak diusung sehingga muncul opini seolah kegagalan mereka dikarenakan mahar politik. Padahal, ada beberapa faktor yang diambil dalam menentukan bakal calon terpilih oleh masing-masing partai ditingkat pusat," jelas dia.
John dan Maryono sendiri telah melaporkan hal ini kepada Panwaslu, Selasa 16 Januari 2018 malam.
"Saya ke sini bersama Maryono memenuhi undangan (Panwaslu) untuk berdiskusi dan menyampaikan apa yang saya rasakan berkaitan dengan mahar politik," ujar Jhon, saat tiba di Panwaslu Palangkaraya, Selasa malam.
Dalam pertemuan itu, ungkap John, ia menceritakan kronologi masalah yang menimpanya hingga akhirnya gagal mengikuti pemilihan wali kota dan wakil wali kota Palangka Raya 2018.
John mengaku diminta oleh Partai Gerindra di Palangkaraya untuk membayar uang satu kursi sebesar Rp 350 juta, agar mendapat rekomendasi partai yang dipimpin Prabowo Subianto itu. Di DPRD Kota Palangkaraya, Gerindra memiliki 4 kursi, sehingga total uang yang harus dikeluarkan Rp 1,4 miliar.
Tak hanya Gerindra, ia juga harus membayar uang kursi ke PPP sebesar Rp 1 miliar. PPP memiliki dua kursi di DPRD Kota Palangkaraya.
Advertisement
4. Mahar Politik di Pilkada Papua
Dugaan praktik mahar politik di Partai Hanura Kubu Oesman Sapta Odang (OSO) kembali diungkap. Yan Mandenas, kader dari Papua, mengaku diminta uang untuk maju menjadi calon Bupati Biak Numfor.
Ia menunjukan bukti komunikasinya melalui aplikasi pesan singkat dengan seorang pengurus Hanura. Yan mengaku sempat menemui OSO terkait syarat mahar tersebut.
"Itu saya diminta mahar, minta berapa, satu kursi Rp 350 Juta saya harus bayar. Dua kursi Rp 700 juta saya harus bayar," kata Yan di Hotel Sultan, Jakarta Selatan, Kamis (18/1/2018).
Kemudian, lanjut dia, Ketua DPP Hanura Benny Ramdhani diminta untuk mengurusnya. Gerah dengan kewajiban mahar tersebut, Yan lantas menghubungi Sekretaris Jendral Hanura Sarifuddin Sudding.
Dia juga memutuskan batal maju menjadi calon Bupati Biak Numfor. Yan kini bergabung dengan Hanura kubu Sudding.
"Ini barang yang terbuka. Beda dulu Pak Wiranto pimpin partai. Kader saya beberapa yang saya hasilkan bisa maju tanpa mahar. Lima kursi pakai gratis. Kita mau yang kayak gitu," Yan menandaskan.
Sementara, OSO sendiri mengatakan , partai politik boleh menerima mahar politik dari calon kepala daerah yang akan diusung.
Namun, menurut OSO, uang uang mahar tersebut harus masuk ke kas partai, bukan masuk ke kantong pribadi.
"Mahar politik itu kalau ada mekanisme partai sah saja, tapi harus masuk ke partai enggak boleh masuk kantong sendiri. Haram itu," kata OSO.