Menjaga Keragaman dengan Mengaktualisasikan Pancasila

Ini lebih utama daripada membuat undang-undang kerukunan, tetapi melupakan hal dasar pendekatan yang lebih humanis.

oleh Liputan6.com diperbarui 26 Jan 2018, 18:30 WIB
Opini Benny Susetyo PR (liputan6.com/Trie yas)

Liputan6.com, Jakarta - Pesiden Joko Widodo dalam sambutannya di Kongres PMKRI Nasional ke-30, menegaskan kembali pentingnya menjaga keragamaan dan kemajemukan.

Indonesia merupakan negara yang Bhinneka Tunggal Ika terdiri dari 714 suku, bermacam agama dan etnis yang hidup berdampingan.

Sejak ratusan tahun bangsa ini hidup berdampingan dalam menjaga kemajemukan, menjadi cara berpikir, bertindak, dan bernalar.

Dalam Kitab Sutasoma, semboyan Bhinneka Tunggal Ika dengan tegas menggambarkan masyarakat pada waktu itu hidup berdampingan dan bersaudara dalam perbedaan keyakinan.

Beratus-ratus tahun masyarakat punya kearifan yang luar biasa untuk saling menghargai perbedaan. Namun, akhir-akhir ini ruang publik diisi dengan sentiment suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), kebencian, serta permusuhan di ruang dunia maya.

Hal ini dibiarkan tanpa ada kesadaran bersama untuk menjaga keragaman, sehingga dikhawatirkan bangsa ini akan kehilangan masa depan.

Bapak Pendiri Bangsa, Ir Soekarno menegaskan, Negara Republik Indonesia ini bukan milik suatu golongan, bukan juga milik suatu agama, milik suku tertentu, dan bukan pula milik suatu golongan adat istiadat. Tapi, milik bangsa Indonesia dari Sabang sampai Marauke.

Amanat ini harusnya dirawat dan dijaga semua pihak, yakni semua unsur bangsa ini. Bangsa ini harus bertanggung jawab mengaktualisasikan nilai Pancasila dalam segala sendi kehidupan.

Nilai–nilai Pancasila menjadi habitus bangsa, yakni menjadi pemandu kehidupan bersama dalam menciptakan tata keadaban publik. Sementara tata keadaban publik menjadi acuan dalam merawat Bhinneka Tunggal Ika.

Karena itu, dibutuhkan sekarang kemauan pemerintah untuk mengaktualisasikan pilar hidup berbangsa, yakni Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia, menjadi kebijakan yang memberi ruang sama bagi anak-anak bangsa ini.

Jika paham-paham yang memaksakan kehendak dengan menggunakan kekerasan dibiarkan terus-menerus berkembang tanpa ada upaya untuk menegakkan hukum, akan menciptakan keretakan hidup berbangsa dan bernegara.

Pada akhirnya, sebenarnya, paham-paham tersebut mengingkari empat pilar hidup berbangsa dan bernegara.

Maka dibutuhkan kemauan dari pemerintah untuk menegakkan hukum yang tidak pandang bulu, serta tidak diskriminatif terhadap warga negara.

Dari kenyataan itu harusnya dicari upaya-upaya agar bisa mengaktualisasikan dalam tindakan.


Membangun Pergaulan Agama-Agama

Parade Bhinneka Tunggal Ika dilakukan untuk menjaga persatuan Indonesia. (Foto: liputan6.com/Gempur M. Surya)

Problem bangsa ini terjadi saat bangsa kehilangan pemimpin yang memiliki kewibawaan, dalam merawat pluralisme.

Carut-marutnya kehidupan pluralisme di Indonesia, aksi kekerasan terhadap rumah ibadah dan kekerasan kemanusiaan, merupakan masalah yang serius. Kegagalan negara yang mempunyai kekuatan memaksa (keamanan) dalam mengatasi atau mencegah kekerasan, seperti menandakan lemahnya fungsi negara.

Ironi lemahnya fungsi negara harus segera dibenahi untuk meminimalisir kebuntuan kemajemukan. Pembaruan makna atau penafsiran Pancasila harus dihidupkan.

Dibutuhkan sekarang politik dari penguasa untuk membumi. Multikultural menjadi sebuah kebijakan hidup berbangsa dan bernegara, yang mendorong dialog antaragama dan komunikasi antariman.

Dengan demikian, hal itu akan menjadi sesuatu yang sangat berharga dalam rangka menciptakan situasi saling memahami dan menghargai perbedaan. Itu adalah suatu konsep di mana penghargaan pada masing-masing keyakinan menjadi poin utama.

Logisnya, menganggap keyakinan sendiri paling benar adalah ketidakdewasaan menghadapi dan memahami hakikat atau substansi agama.

Untuk membangun pergaulan agama-agama yang lebih manusiawi dan untuk meredam potensi-potensi kekerasan umat beragama, yang bisa muncul dari klaim-klaim kebenaran sepihak itu, tampaknya jalan untuk mengatasinya adalah dengan memperluas pandangan inklusif (terbuka) dari visi religiusitas kaum beragama.

Ini lebih utama daripada membuat undang-undang kerukunan, tetapi melupakan hal dasar pendekatan yang lebih humanis. Namun juga harus diimbangi politik penguasa yang menegakkan hukum dan ada visi bersama untuk merawat keanekaragaman, yang menjadi aset bersama bagi kehidupan Indonesia supaya lebih mengutamakan pilar kebangsaan.

Orientasi ini seharusnya lebih diupayakan pemerintah dalam merawat roh Bhinneka Tunggal Ika, supaya menjadi sebuah gugus insting yang mempengaruhi cara berpikir, bertindak, bernalar, dan berelasi warga negara.

Hal ini sudah menjadi milik bersama, maka warga negara memiliki visi yang sama dalam mengaktualisasikan nilai-nilai kebinekaan dalam relasi hidup bersama.

 


Kebijakan untuk Merawat Keanekaragaman

Parade Bhinneka Tunggal Ika yang dilaksanakan 19 November 2016 tepat berada di Bundaran HI yang dimulai pukul 09.00 - 16.00 WIB. (via: Jokowarino.id)

Pemerintah harus serius untuk mengupayakan hal ini, tidak hanya merangkai kata-kata. Namun, lebih lanjut, memakai kata-kata untuk dijadikan kebijakan demi merawat keanekaragaman agama, budaya, etnis, serta kearifan lokal agar tumbuh dan berkembang di bumi tercinta ini.

Ini membutuhkan sebuah visi yang jelas serta kecintaan kepada bangsa.

Diharapkan ke depannya, dalam mengaktualisasikan Pancasila pada kebijakaan publik, untuk menjaga nilai persatuan dan semangat nasionalisme dalam karya nyata, dilakukan melalui pendidikan nilai–nilai dalam keluarga.

Pendidikan nilai–nilai keluarga yang mengarus utamakan Pancasila menjadi kebiasaan dalam berperilaku hidup jujur, sederhana, dan gotong royong, menjadi tangung jawab semua keluarga Indonesia.

Kita harus mengembalikan Pancasila menjadi acuan berperilaku, untuk menghadapi tantangan ke depan.

Dalam mengaktualisasikan nilai–nilai Pancasila dalam praksis anak muda, dapat dilakukan melalui dunia maya dengan konten yang berisi nilai positif spirit berkemajuan.

Itulah seharusnya yang di kedepankan di ruang publik, bukan lagi kebencian, isu kebohongan serta provokasi yang menghancurkan nilai kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kecintaan kepada bangsa, harusnya dilakukan oleh setiap orang Indonesia dengan memberikan sumbangan positif bagi kemajuan bangsa ini.

Mari kita lakukan gerakan mengarus utamakan Pancasila menjadi gugus insting yang mempengaruhui cara berpikir, bertindak, bernalar, dan berelasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, melalui pendidikan keluarga dan sekolah. Juga mengarus utamakan nilai keluarga dalam media massa, media sosial, dan televisi.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya