Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah menyatakan akan mengenakan sanksi kepada kontraktor maupun pengelola gedung sebagai buntut dari peristiwa ambruknya beton proyek LRT Jabodebek dan selasar mezanine Tower II Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI).
Saat ini, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) masih investigasi kecelakaan tersebut.
Direktur Jenderal Bina Konstruksi Kementerian PUPR, Syarif Burhanuddin, mengungkapkan, dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, pada Pasal 97 menyebut sanksinya mulai dari peringatan tertulis, pencabutan izin, denda administrasi, blacklist, pembekuan sementara, sampai pencabutan.
"Pak Menteri (PUPR) sudah menjelaskan, akan memberikan sanksi kalau terjadi kesalahan. Sekarang lagi diproses sanksi itu sesuai dengan tingkat kesalahan atau kekeliruannya," kata Syarif di kantornya, Jakarta, Jumat (26/1/2018).
Baca Juga
Advertisement
Pemerintah sudah mengidentifikasi penyebab kecelakaan saat proyek dilaksanakan atau konstruksi pada pemasangan PCI girder yang terjadi di proyek LRT Jabodebek rute Kelapa Gading-Velodrome.
Pertama, kondisi tidak stabil. Kedua, gantungan crane mengalami pelonggaran sehingga gelagar berotasi. Ketiga, vertikalitas gantungan sulit dikontrol. Keempat, bracing baja tulangan tidak mampu menahan gaya guling. Kelima, jack hidraulic yang tidak bekerja dengan baik. Terakhir, proses stressing dan sambungan beton basah.
"Jadi kecelakaan disebabkan belum dipenuhinya sebagian standard operating procedure (SOP), terutama dalam hal pengangkatan balok (erection girder), pemasangan pengaku atau bracing, dan proses penarikan kabel," jelas Syarif.
Sementara itu, penyebab runtuhnya balkon Tower II gedung BEI, Syarif mengakui adalah karena kegagalan kinerja joint (sambungan) pada PC-Strand (kabel) sebagai penggantung karena tidak tercapainya gaya tarik minimal pada kabel tersebut.
"Jadi pada saat runtuh, struktur selasar menjadi kantilever secara mendadak yang tidak bisa ditahan sistem karena terlepasnya PC-Strand di bagian atas. Ini masih perlu lagi penyelidikan berikutnya, makanya baru kesimpulan sementara," ucap Syarif.
Adapun proyek lain yang mengalami kecelakaan serupa terutama pada pemasangan beton atau girder yang sedang diselidiki Kementerian PUPR, antara lain, kasus robohnya girder di proyek Jembatan Overpass Caringin pada ruas tol Bogor-Ciawi-Sukabumi (Bocimi), Jawa Barat.
Selain itu, girder ambruk pada proyek Jembatan Overpass di ruas tol Pasuruan-Probolinggo, Jawa Timur, Jembatan Ciputrapinggan KM. Bandung ruas Banjar-Pangandaran, Jawa Barat, serta Jembatan Overpass proyek tol Pemalang-Batang, Jawa Tengah.
"Kelima kejadian ini yang masih kami telusuri," Syarif berujar.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
DPR Bakal Panggil Kementerian PUPR Imbas Insiden Proyek LRT
Sebelumnya, marak kecelakaan kerja dalam proyek infrastruktur, seperti insiden jatuhnya boks girder pada proyek Light Rail Transit (LRT) di Kayu Putih, Jakarta pada Senin 22 Januari 2018, membuat Komisi V DPR-RI berencana memanggil Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Wakil Ketua Komisi V DPR, Sigit Sosiantomo menyampaikan, pihaknya sangat menyayangkan peristiwa yang menyebabkan lima orang terluka tersebut.
"Kecelakaan kerja seperti ini sudah berulang, seharusnya bisa dihindari jika aspek keselamatan dan keamanan dipenuhi penyedia jasa konstuksi," kata Sigit seperti dikutip pada Rabu, 24 Januari 2018.
Seperti yang tertera dalam pasal 52 UU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (Jaskon), Sigit berkata penyedia jasa serta sub penyedia jasa konstruksi harus memenuhi empat standar, yaitu standar keamanan, keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan.
"Jika tidak, penyedia jasa dapat dikenakan sanksi administratif, mulai dari peringatan tertulis, penghentian sementara konstruksi, hingga pencabutan izin sebagaimana diatur dalam pasal 96 UU Jaskon," tutur dia.
Insiden kecelakaan kerja serupa tercatat sudah berulang kali terjadi. Seperti pada awal bulan ini, ketika boks girder terjatuh akibat tersenggol alat berat di proyek pembangunan jalan Tol Depok-Antasari, Jakarta.
"Karena kejadian ini sudah berulang kali, Komisi V akan memanggil Kementerian PUPR, khususnya Dirjen Bina Konstruksi, untuk mengevaluasi apakah sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja pada proyek kontruksi sudah diterapkan, atau baru sebatas sosialisasi saja. Jangan sampai, regulasinya sudah ada, tapi tidak diterapkan," kata Sigit.
Pada 2017, Pemerintah telah merilis Surat Edaran Menteri PUPR Nomor 66/SE/M/2015 tentang Biaya Penyelenggaraan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum. Kebijakan tersebut dibuat untuk meningkatkan tingkat kepatuhan kontraktor terhadap SMK3.
"Komisi V akan menagih komitmen PUPR selaku regulator dalam pengawasan dan evaluasi penyedia jasa kostruksi, terkait apakah pemerintah sudah melakukan pembinaan dan penerapan sanksi kepada penyedia jasa yang tidak memenuhi SMK3," tutur Sigit.
Advertisement