Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil mantan Dirjen Hubungan Laut (Hubla) Kementerian Perhubungan Antonius Tonny Budiono. Pemeriksaan tersebut dilakukan untuk pengembangan dari kasus suap perizinan dan pengadaan proyek-proyek di lingkungan Ditjen Hubla pada 2016-2017.
"Tim sedang mencermati informasi-informasi yang sudah muncul sebelumnya di penyidikan hingga persidangan. Ada kebutuhan pemeriksaan untuk pengembangan perkara," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah saat dikonfirmasi, Jumat (26/1/2018).
Advertisement
Jaksa penuntut umum pada KPK mendakwa Direktur Jenderal Perhubungan Laut (Dirjen Hubla) nonaktif Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Antonius Tonny Budiono menerima suap Rp 2,3 miliar.
Menurut jaksa, uang tersebut diterima Tonny dari Komisaris PT Adiguna Keruktama, Adi Putra Kurniawan.
Pemberian uang tersebut berkaitan dengan proyek pekerjaan pengerukan alur Pelabuhan Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, tahun 2016, dan pekerjaan pengerukan alur pelayaran Pelabuhan Samarinda, Kalimantan Timur tahun 2016.
Uang tersebut sebagai suap yang diberikan Adi kepada Tonny. Sebab, Tonny menyetujui penerbitan surat izin kerja keruk (SIKK) untuk PT Indominco Mandiri dan PT Indonesia Power Unit Jasa Pembangkitan (UJP) PLTU Banten.
Selain itu, Tonny Budiono juga didakwa menerima gratifikasi. Tonny disebut jaksa KPK menerima gratifikasi dengan nilai total Rp 19,6 miliar.
Vonis Penyuap Tonny
Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan hukuman penjara 4 tahun dan denda Rp 200 juta subsider lima bulan kurungan terhadap Komisaris PT Adhiguna Keruktama, Adiputra Kurniawan.
Dia merupakan penyuap Antonius Tonny Budiono selaku Dirjen Hubla terkait perizinan pengerukan empat pelabuhan di sejumlah wilayah di Indonesia.
"Mengadili, menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana secara terus-menerus," ujar hakim Saifudin Zuhri dalam amar putusannya di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis 18 Januari 2018.
Pada amar putusannya, hakim Saifudin menilai Adiputra tak mendukung semangat pemerintah Indonesia yang tengah giat memberantas tidak pidana korupsi.
Saifudin juga menilai, modus yang dilakukan Adiputra merupakan modus operandi yang baru dalam tindak pidana korupsi. Dengan begitu, ditakutkan perbuatan tersebut akan dilakukan oleh pihak lain.
"Melakukan perbuatan dengan modus operandi baru dengan menggunakan ATM yang dapat mempersulit pengungkapannya oleh penegak hukum yang memungkinkan ditiru oleh orang lain," kata dia.
Sementara hal-hal yang meringankan, yakni terdakwa belum pernah dihukum sebelumnya, menyesali perbuatan, dan memiliki tanggungan keluarga.
Vonis tersebut tak berbeda dengan tuntutan jaksa penuntut umum KPK.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Advertisement