Liputan6.com, Jakarta Usia Sugeng Riyanto sudah menginjak 23 tahun, 2016 lalu. Namun, perkerjaan yang dia cari ke sana ke mari tidak kunjung dapat. Putus asa dan niat bunuh diri pun mencuat.
Tanpa pikir panjang, Sugeng mengambil seutas tali yang dia gantungkan pada sebatang kayu. Setelah melilitkan ke leher, Sugeng melompat. Brak! kayu patah, percobaan gantung diri gagal sehingga dia tidak jadi meninggal.
Mengetahui kejadian itu, keluarga Sugeng bertindak cepat. Dia dibawa ke rumah sakit untuk menjalani perawatan selama 10 hari. Pendekatan keagamaan pun dilakukan untuk menenangkan pikiran Sugeng.
"Karena pikiran tidak karuan, terjadi kejadian tersebut," kata Sugeng kepada Liputan6.com di kantor Desa Bejiharjo, Gunungkidul, Selasa 9 Januari 2018.
Baca Juga
Advertisement
Sugeng bukan satu-satunya pelaku percobaan bunuh diri di Gunungkidul, Yogyakarta. Namun ada puluhan kasus sejenis yang terjadi setiap tahun. Ada yang selamat, tapi banyak juga yang berakhir di liang lahat.
Data yang dikumpulkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Inti Mata Jiwa (Imaji), ada 459 kejadian bunuh diri di wilayah itu sepanjang 2001-2017. Rata-rata tiap tahunnya mencapai 27 kasus.
Faktor penyebabnya cukup beragam. Dari hasil pemeriksaan polisi dan medis yang dihimpun LSM Imaji, penyebab utama adalah depresi. Persentasenya mencapai 43%. Pemicu lain yakni sakit fisik menahun 26%, gangguan jiwa 6%, kesulitan ekonomi 5%, masalah keluarga 4%, dan tanpa keterangan sebanyak 16%.
Tingginya angka bunuh diri di Gunungkidul pun kerap dikaitkan dengan mitos pulung gantung. Sebuah mitos tentang adanya bola api besar yang terbang di atas pemukiman warga.
Sebagian warga percaya, jika bola api itu hinggap ke salah satu rumah, maka penghuninya akan bunuh diri. Makanya, pulung gantung akan diusir dengan kayu jika menampakkan diri.
Sugeng meragukan mitos tersebut. Apalagi, dia belum pernah melihat langsung wujud pulung gantung. Namun dia menyebut, pulung gantung memang menjadi mitos di tengah masyarakat Gunungkidul sejak lama.
"Jika ada yang bunuh diri dikaitkan dengan pulung gantung, ujarnya.
Sementara Sugeng punya pendapat lain. Bagi dia, pemicu bunuh diri bukan faktor gaib, melainkan adanya gangguan kesehatan atau kejiwaan.
Sebagai penyintas bunuh diri, kini Sugeng mencoba bangkit berkat dukungan keluarga dan lingkungannya. Sekarang dia bekerja sebagai aparatur Desa Bejiharjo, Gunungkidul.
Bunuh Diri Bisa Dicegah
Dokter sekaligus psikiater dari RSUD Wonosari, Ida Rochmawati mengatakan, pada dasarnya tidak ada seorang pun yang berani mati. Makanya, pemicu seseorang untuk bunuh diri tentunya bukan karena faktor tunggal.
"Jadi bunuh diri itu faktornya multifaktorial," katanya pada Liputan6.com saat ditemui di Gunungkidul, Rabu 10 Januari 2018.
Ida menambahkan, memang belum ada penelitian yang mampu mengungkap penyebab atau faktor utama bunuh diri. Dalam jurnal-jurnal terkait pun, peyebab bunuh diri disebut multifaktorial. Antara lain faktor biologi, psikologi, sosial, dan budaya.
"Kita mengatakannya bukan penyebab, tapi faktor risiko bunuh diri atau secara sederhana disebut sebagai faktor-faktor pencetus kejadian bunuh diri," jelasnya.
Berbicara masalah pencegahan praktik bunuh diri, Ida menyebut, sangat mungkin diupayakan. Bahkan, masyarakat awam pun bisa membantu mencegah percobaan bunuh diri.
"Caranya, dengan melihat, mendengar, dan hubungkan," sebut Ida.
Dia memaparkan, melihat berarti peka terhadap perubahan kondisi di lingkungan masyarakat. Artinya, harus peduli jika melihat adanya tetangga datu keluarga yang mengalami depresi, gangguan jiwa, dan perubahan perilaku.
Selain itu, publik juga harus mendengarkan dan mencari informasi seputar penyebab seseorang mengalami depresi atau gangguan jiwa.
"Lalu bersedia menghubungi pelayanan kesehatan, LSM, ataupun lembaga yang bisa memberikan dukungan ke orang yang memiliki faktor risiko bunuh diri," sebutnya.
Advertisement
Butuh Peran Masyarakat
Fenomena bunuh diri di Gunungkidul menjadi perhatian LSM Imaji yang beridiri sejak Maret 2017. Komitmen mereka, menanggulangi masalah kesehatan jiwa dan mencegah praktik bunuh diri.
"Permasalahan bunuh diri di Gunungkidul dari tahun ke tahun angkanya tidak banyak berubah," kata Ketua LSM Imaji Jaka Yanuwidiasta kepada Liputan6.com, di Gunungkidul, Senin 8 Januari 2018.
Dia mengatakan, Imaji fokus pada upaya preventif dan promotif terhadap kesehatan jiwa masyarakat dan pencegahan bunuh diri. Bentuknya berupa kampanye kesehatan jiwa terhadap semua lapisan masyarakat.
Itu perlu, mengingat masyarakat belum memahami bahwa gangguan jiwa bisa ditangani secara medis. Belum lagi adanya diskriminasi dan stigma terhadap penderita gangguan jiwa.
"Mereka (penderita gangguann jiwa) kerap dianggap tidak berguna dan mencemarkan nama baik keluarga," ungkap Jaka.
Selain itu, publik juga kerap melabeli penderita depresi sebagai manusia kurang keimanan. Bahkan dianggap sebagai pribadi yang tidak kuat menghadapi permasalahan hidup.
Padahal, Jaka berpendapat, daya tahan atau mentalitas setiap orang tentunya berbeda-beda. Semuanya punya batasan masing-masing dalam menghadapi permasalahan hidup.
"Jangan ada lagi diskriminasi kepada siapa pun yang mempunyai permasalahan kesehatan jiwa dan penyintas bunuh diri,"tegasnya.