Liputan6.com, Moskow - Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan bahwa negaranya telah membeli 10 pesawat bomber nuklir supersonik. Hal itu diutarakannya pada Kamis, 25 Januari 2018.
Pesawat itu adalah Tupolev TU-160 M Strategic Bombers yang didesain Uni Soviet -- disebut dengan nama sandi Blackjack oleh NATO -- yang diremajakan dan dimutakhirkan.
Baca Juga
Advertisement
Putin mengatakan, pembelian 10 pesawat supercanggih itu akan menguatkan kapabilitas nuklir Rusia. Demikian seperti dikutip dari Independent (26/1/2018).
"Pesawat itu adalah sebuah langkah serius untuk pemutakhiran dan memperkuat negara kita untuk mempertahankan diri," tambah Putin usai menyaksikan TU-160 beraksi dalam sebuah misi terbang simulasi pada Kamis kemarin.
Rusia telah membeli 10 pesawat itu dari firma industri militer Kazan Aircraft seharga 15 miliar rubel, setara Rp 3,5 triliun.
Produk itu akan dikirim secara bertahap, mulai dari 2018 hingga 2027.
Putin juga dikabarkan telah melakukan inspeksi di pabrik Kazan Aircraft di Tatarstan, untuk mengecek proses pembuatan pesawat. Serta, pembangunan sejumlah infrastruktur baru yang didirikan untuk mempermudah pengoperasian TU-160, meliputi; landasan pacu, hangar, dan bengkel mutakhir.
Pesawat raksasa itu, yang mampu menekuk sayapnya ke belakang untuk memberikan efek kecepatan ekstra, merupakan rancangan Uni Soviet yang -- pada masanya -- akan digunakan untuk perang nuklir.
Versi mutakhir TU-160M mampu membawa 12 rudal jelajah atau 12 rudal jarak dekat. Pesawat itu juga bisa terbang 12.000 km tanpa henti, tanpa perlu mengisi bahan bakar di tengah perjalanan.
Varian teranyar, yang akan mengalami peremajaan signifikan terhadap persenjataan, navigasi, dan avioniknya, akan 60 persen lebih efektif daripada versi yang lama.
"TU-160 ... adalah senjata penggentar-jeraan dan sangat bagus bahwa Rusia dapat mulai membuatnya lagi," kata Rinat Khamatov, kepala Kazan Aircraft.
Rusia juga bertujuan untuk memproduksi versi modern dari pesawat tanker Il-78 -- bernama sandi Midas oleh NATO -- yang dapat membantu pengisian bahan bakar TU-160 di udara.
Telah Beroperasi di Suriah
Versi terkini -- non-mutakhir -- dari TU-160 telah terbang dari Rusia ke Suriah untuk melaksanakan operasi pengeboman, membantu rezim Presiden Suriah Bashar Al Assad guna melawan pasukan oposisi pemerintah.
Di bawah Putin, yang telah mendominasi lanskap politik Rusia selama 18 tahun terakhir, Negeri Beruang Merah telah meningkatkan pengeluaran pertahanan dan menggunakan kekuatan militer secara signifikan di Georgia, Ukraina dan Suriah.
Senjata Pembawa Kiamat Rusia
Rusia tengah intens meningkatkan kapabilitas militer dan mesin tempurnya. Tak hanya telah membeli pesawat bomber nuklir supersonik, Negeri Beruang Merah dilaporkan tengah membuat kapal selam otomatis yang mampu membawa hulu ledak nuklir.
Lewat sebuah dokumen yang bocor ke publik, Kementerian Pertahanan Amerika Serikat (Pentagon) mengonfirmasi bahwa Rusia telah memiliki kapal selam drone pembawa rudal nuklir 'kiamat' yang dapat menghancurkan lokasi strategis di Negeri Paman Sam.
Informasi itu terkandung di dalam dokumen US Nuclear Posture Review, Department of Defense yang baru akan dirilis pada Februari 2018 mendatang. Demikian seperti dilansir News.com.au 16 Januari 2018.
Drone Peluncur Nuklir Rusia
Rusia pertama kali membeberkan bahwa pihaknya tengah mengerjakan kapal selam drone peluncur rudal nuklir tersebut pada 2015.
Kala itu, sejumlah jenderal tinggi Negeri Beruang Merah mempresentasikan cetak biru drone tersebut saat pertemuan dengan Presiden Rusia Vladimir Putin.
Para ahli berpendapat, pemaparan itu merupakan sebuah peringatan yang sengaja ditujukan kepada Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya.
Dari cetak biru itu, diketahui bahwa drone itu dikenal secara resmi dengan nama Ocean Multipurpose System Status-6.
Kapal selam drone peluncur rudal nuklir tersebut memiliki jarak tempuh hingga maksimal 10.000 km, dapat menyelam sejauh 1 km di bawah permukaan laut, dan bisa mencapai kecepatan maksimal hingga 103 km/jam.
Alutsista itu juga mampu membawa hulu ledak nuklir sebesar 100 megaton.
Seperti dikutip dari BBC, alutsista itu dirancang untuk mampu 'menghancurkan instalasi ekonomi penting musuh di wilayah pesisir dan menyebabkan kerusakan fatal di teritori musuh, dengan menciptakan area kontaminasi radioaktif yang luas, sehingga tak lagi dapat digunakan untuk militer, ekonomi atau aktivitas lainnya untuk waktu yang lama.'
Advertisement
Pembawa Senjata 'Kiamat'
Badan Intelijen AS mendeteksi bahwa Rusia telah menguji kapal selam tak berawak itu saat diluncurkan dari kapal selam Rusia Sarov-class pada 2016, menurut laporan The Washington Free Beacon.
"OMS Status-6 dirancang untuk membunuh warga sipil dengan ledakan dan kejatuhan besar-besaran," kata mantan pejabat Pentagon, Mark Schneider kala itu.
Harian pemerintah Rusia Rossiyskaya Gazeta melaporkan, untuk mencapai kontaminasi radioaktif yang ekstensif, alutsista tersebut tengah driancang untuk mampu membawa bom kobalt, varian bom nuklir yang menghasilkan jumlah radiasi radioaktif lebih banyak ketimbang hulu ledak atom biasa.
"Sebuah bom kobalt adalah konsep senjata 'kiamat' yang lahir pada masa Perang Dingin. Namun tampaknya tak pernah dikembangkan, hingga kini," tambah surat kabar Rossiyskaya Gazeta.
Rusia Lebih Unggul
Dokumen Pentagon tersebut juga memperingatkan bahwa Rusia telah mengembangkan seperangkat senjata beragam yang membuat mereka semakin unggul ketimbang AS.
"Rusia telah unggul secara signifikan dalam kapasitas produksi senjata nuklirnya, jika dibandingkan dengan AS dan sekutunya," lanjut dokumen Pentagon tersebut.
Negeri Beruang Merah juga mungkin membangun seperangkat sistem non-strategis yang besar, beragam, modern, dan dwifungsi -- seperti dipersenjatai nuklir atau hulu ledak konvensional.
"Modernisasi senjata nuklir non-strategis Rusia meningkatkan jumlah senjata tersebut di gudang senjata, sementara secara signifikan meningkatkan kemampuan pengirimannya."
Termasuk di Bidang Pertahanan
Tak hanya melakukan modernisasi kapabilitas untuk menyerang, Rusia juga dikabarkan turut meningkatkan kemampuannya dalam bidang pertahanan.
Pentagon mengatakan bahwa Rusia sedang memodesnisasi sistem antinuklir dan pencegat rudal balistik sebagai mekanisme pertahanan domestik.
Rusia percaya bahwa kemampuan senjata nuklirnya yang canggih akan memungkinkan mereka untuk mengurangi konflik demi kepentingan nasionalnya.
Namun, makalah dari Pentagon justru berpendapat kemampuan Rusia tersebut justru semkain meningkatkan potensi konflik global hingga ke titik tertingginya.
AS Diimbau untuk Meningkatkan Kapabilitas Nuklirnya
Dokumen Pentagon itu pada akhirnya memperdebatkan mengenai upaya peningkatan kapabilitas pertahanan dan nuklir Amerika Serikat.
"Prioritas utama Kementerian Pertahanan AS" adalah untuk menjamin tambahan 3 sampai 4 persen dari anggaran negara untuk mempertahankan persenjataan nuklirnya, yang menurutnya penting untuk mencegah serangan dari musuh.
Naskah tersebut juga menyarankan untuk melanjutkan program modernisasi senjata dan nuklir AS yang telah dimulai sejak masa pemerintahan Presiden Barack Obama.
Program itu juga sesuai dengan laporan tahun lalu yang menyebut bahwa Presiden AS Donald Trump menginginkan peningkatan hampir sepuluh kali lipat persenjataan nuklir negara tersebut.
Advertisement