Liputan6.com, Dhaka - Memasuki hari kelima kunjungan ke lima negara, pada Minggu 28 Januari 2018, Presiden RI Joko Widodo atau Jokowi beserta rombongan telah tiba di Bangladesh dan dijadwalkan akan melakukan sejumlah agenda penting.
Pertama, Jokowi dijadwalkan akan melakukan pertemuan bilateral dan penandatanganan nota kesepahaman dengan Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina di Dhaka. Demikian seperti dikutip dari rilis resmi Biro Pers Sekretariat Presiden RI (28/1/2018).
Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi, yang ikut bersama dengan rombongan, menjelaskan bahwa dalam pertemuan itu Presiden Jokowi dengan PM Hasina akan membahas perdagangan kedua negara. Selain itu juga akan dilakukan penandatanganan MoU.
Baca Juga
Advertisement
"Ada penandatanganan 5 MoU, satu mengenai Foreign Affairs Consultation, kedua Komunike Bersama mengenai IUU Fishing, lalu ketiga adalah announcement mengenai pembentukan PTA, keempat menyangkut pembelian LNG dan kelima pembangunan power plant LNG. InsyaAllah ada lima yang akan ditandatangani," ucap Retno.
Usai dari Dhaka, pada siang harinya, Presiden RI, Ibu Negara Iriana, beserta rombongan akan ke Cox's Bazar dengan menggunakan pesawat Kepresidenan Indonesia-1.
Setibanya di Cox’s Bazar nanti, Presiden, Ibu Iriana bersama rombongan akan melanjutkan perjalanan menuju penampungan pengungsi di Kamp Jamtoli dengan menggunakan mobil.
Di sana, Jokowi akan bertemu dengan para pengungsi yang sebagian besar terdiri dari etnis Muslim Rohingya dari Negara Bagian Rakhine, Myanmar.
Belum dijelaskan lebih detail kegiatan apa yang akan dilakukan oleh Jokowi dan rombongan saat melawat ke kamp pengungsi Rohingya di Jamtoli nanti.
Bangladesh Umumkan Penundaan Pemulangan Rohingya ke Myanmar
Kunjungan Presiden RI Joko Widodo ke salah satu kamp pengungsi Rohingya di Cox Bazar, Bangladesh terjadi usai Dhaka mengumumkan untuk menunda proses pemulangan kembali (repatriasi) etnis tersebut ke Rakhine, Myanmar.
Pada 23 Januari 2018 lalu, seharusnya proses pemulangan lebih dari setengah juta pengungsi (repatriasi) Rohingya di Bangladesh ke Rakhine, Myanmar telah dimulai.
Namun, beberapa jam sebelum dimulai, pemerintah Bangladesh memutuskan untuk menunda proses repatriasi itu. Demikian seperti dikutip dari ABC Australia.
"Masih ada beberapa hal yang harus dilakukan," kata Abul Kalam, Komisioner Rehabilitasi dan Bantuan Pengungsi Bangladesh, lembaga pemerintah yang menangani etnis Rohingya yang eksodus ke Bangladesh.
Masalah ketidaksiapan logistik diklaim oleh Bangladesh sebagai alasan utama di balik penundaan itu.
"Daftar nama pengungsi yang akan direpatriasi masih belum siap. Verifikasi data dan kamp transit untuk proses repatriasi juga belum," tambah Kalam mengomentari penundaan pemulangan pengungsi Rohingya.
Advertisement
LSM: Seharusnya Ditunda Lebih Lama, hingga Situasi Memungkinkan
Lembaga aktivisme dan advokasi HAM Fortify Rights yang berbasis di Amerika Serikat menyambut baik keputusan Bangladesh untuk menunda proses repatriasi itu. Namun, mereka merasa, alasan di balik penundaan proses repatriasi itu keliru.
"Otoritas Bangladesh menunda proses raptriasi karena alasan logistik semata. Namun, penundaan itu dilakukan bukan karena masih adanya pelanggaran HAM dan potensi kekerasan (terhadap Rohingya) di Rakhine," kata Matthew Smith dari Fortify Rights.
Fortify Rights menyatakan -- sekaligus sangat menyarankan -- agar penundaan itu dapat diperpanjang hingga situasi di Rakhine benar-benar aman bagi Rohingya dan hak etnis minoritas tersebut dapat benar-benar dijamin oleh Myanmar.
Lembaga aktivisme HAM itu juga mendesak agar Myanmar segera memberikan perbaikan terhadap kampung-kampung Rohingya yang rusak akibat rangkaian kekerasan dan konflik yang terjadi di Rakhine pada pertengahan tahun 2017 silam, sebelum proses repatriasi terjadi.
"Desa-desa mereka sebagian besar telah dihancurkan, beberapa ratus desa bahkan dikabarkan telah dibakar sepanjang tahun 2017 ini," tambah Smith.
"Jadi jika mereka dipulangkan sekarang, sejatinya mereka kembali ke tumpukan abu bekas desa mereka yang telah dibakar dan dibuldozer," paparnya.
Para pejabat Myanmar bersikeras telah menyediakan kamp penampungan sementara di Rakhine khusus untuk etnis Rohingya yang desa dan rumahnya masih belum layak huni.
Namun, rekaman video yang diambil oleh jurnalis lokal menunjukkan bukti sebaliknya, di mana kamp-kamp penampungan sementara itu pun belum sepenuhnya siap, atau bahkan belum didirikan sama sekali oleh Myanmar.
Rekaman video itu menunjukkan lapangan berdebu yang besar dengan segelintir surveyor dan penggali, beberapa tenda putih besar untuk pekerja -- namun tanpa adanya akomodasi, toilet, air minum atau infrastruktur perawatan kesehatan lainnya.
Smith bahkan mengatakan, solusi untuk mendirikan kamp penampungan semacam itu justru hanya menebalkan isu seputar Rohingya -- yang serupa seperti sistem apartheid.
Badan pengungsi PBB (UNHCR) menekankan bahwa Rohingya seharusnya kembali ke Myanmar secara sukarela, dan hanya jika hak dan keamanan dasar mereka dapat dilindungi.
Ketika rencana repatriasi diumumkan pada bulan November 2017, sebuah survei menemukan, 89 persen orang Rohingya tidak mau kembali.
Seorang perempuan Rohingya di kamp pengungsian Bangladesh berkata, "Anda bisa melempar kami ke laut, tapi tolong jangan mengirim kami kembali ... kami tidak akan kembali ke Myanmar.