Liputan6.com, Pyongyang - Pemerintah Korea Utara memperingatkan Perdana Menteri Inggris, Theresa May, untuk tidak asal menuduh atas dugaan keterlibatan dalam isu teror peretasan yang mengancam negeri Ratu Elizabeth II itu.
Dilansir dari laman Express.co.uk pada Senin (29/1/2018), kantor berita resmi Korea Utara, KCNA, menyampaikan pernyataan Kim Jong-un yang menganggap ‘konyol’ tudingan Theresa terkait serangan WannaCry pada jaringan komputer internasional pada 2017 lalu.
Baca Juga
Advertisement
"Amerika Serikat (AS) dan para pengikutnya, seperti Inggris, lebih baik mengurusi urusannya sendiri, dibandingkan memprovokasi negara-negara lain tentang isu serangan siber," tegas Kim Jon-un.
Tahun lalu, Inggris menuding serangan siber berukuran massif memiliki keterkaitan dengan Republik Rakyat Demokratik Korea. Serangan siber tersebut membuat lumpuh sistem jaringan komputer pada Layanan Kesehatan Publik setempat, sehingga menyulitkan penanganan medis terhadap lebih dari 19.000 pasien.
Saat itu, beberapa ahli menyebut dugaan adanya campur tangan Korea Utara dalam serangan siber terkait. Tudingan tersebut didasarkan pada temuan kode yang mirip dengan kode serangan sebelumnya, yang diyakini kuat dibuat di Korea Utara.
"Segala bentuk serangan siber yang terjadi di berbagai penjuru dunia, AS dan sekutunya mendorong pernyataan yang membingungkan publik, mengaitkan kasus tersebut dengan Korea Utara tanpa alasan dan bukti jelas," ujar Kim Jong-un tidak terima.
Korea Utara Dituding Lakukan Serangan Siber WannaCry
Tahun lalu, penasehat keamanan AS, Tom Bossert, mengklaim telah menemukan serangkaian bukti bahwa serangan siber adalah sebuah alat penting bagi kepentingan luar negeri Korea Utara.
"Korea Utara telah bertindak sangat buruk, dan sebagian sangat tidak terkenali, selama lebih dari satu dekade terakhir, dan hal itu semakin mengerikan ke depannya," jelas Bossert.
Pernyataan Bossert tersebut didukung oleh Menteri Keamanan Inggris, Ben Wallace, yang menyebut bahwa Inggris yakin bahwa negara komunis tersebut sebagai pihak yang paling bertanggung jawab.
"Meski kita belumm memiliki bukti lebih jauh mengenai keterlibatan Korea Utara dalam seranagn siber global, namun hal ini telah diyakini oleh banyak negara, sehingga dugaan tersebut sangat mungkin benar adanya," ujar Ben Wallace.
Serangan virus WannaCry disebut telah melumpuhkan lebih dari 300.000 pusat jaringan komputer di seluruh dunia. Serangan siber tersebut meminta tebusan mulai dari US$ 300, atau sekitar Rp 3,9 juta, untuk membebaskan setiap perangkat komputer yang diretas.
Advertisement