Balita Indonesia Darurat Kekurangan Gizi, Apa Saja Efek Buruknya?

Ahli gizi membandingkan dengan nilai ambang batas WHO, yakni 10 persen. Artinya, bayi Indonesia masuk dalam kondisi darurat kekurangan gizi.

Oleh JawaPos.com diperbarui 30 Jan 2018, 11:05 WIB
Kenali Tanda Anak Kurang Gizi

Jakarta - Pemenuhan kebutuhan gizi ibu hamil memiliki peran penting dalam melahirkan generasi berkualitas. Dengan kata lain, kualitas gizi bakal berpengaruh besar terhadap bayi yang lahir.

“Kita semua tahu, jika memiliki generasi yang sehat dan cerdas, negara akan maju dan kuat di segala bidang. Jadi program gizi ibu hamil harus menjadi fokus bersama,” kata Deputi Pelatihan, Penelitian dan Pengembangan BKKBN, Rizal Damanik, seperti dikutip dari JawaPos, Selasa (30/1/2018).

Program pemenuhan gizi ibu hamil telah diatur oleh pemerintah dalam Peraturan Pemerintah No 42 Tahun 2013, tentang percepatan perbaikan gizi yang disebut dengan Program Penentuan 1000 HPK (Hari Pertama Kehidupan).

Rizal mengungkapkan, pemenuhan kebutuhan gizi ibu hamil harus jadi perhatian khusus dan membutuhkan sinergi dengan semua pihak.

Sebab, angka kurang gizi di Indonesia khususnya pada balita mencapai 17 persen pada 2017. Angka ini berdasarkan kecukupan berat badan pada bayi.

“Jika dibandingkan dengan nilai ambang batas WHO, yakni 10 persen, Indonesia masuk dalam kondisi darurat,” urai ahli gizi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) tersebut.

 

Simak juga video menarik berikut :


Daya Tangkap Bayi Rendah

Mengenal Ciri-Ciri Anak Kurang Gizi

Ia menambahkan, kekurangan gizi yang dialami sejak kecil akan menyebabkan pertumbuhan yang tidak optimal pada organ-organ tubuhnya.

"Alhasil, kecerdasan anak, yakni kemampuan daya tangkap otak menjadi rendah," jelas dia.

“Jika hal ini terjadi, individu-individu tersebut akan tumbuh menjadi generasi yang lemah baik fisik maupun kecerdasan otaknya,” kata Rizal.

Rizal menyebut salah satu dampak jika dalam satu daerah mengalami kurang gizi, yakni masyarakat akan tumbuh menjadi generasi pemalas dan tidak kuat bekerja.

Akibatnya, dipastikan akan muncul berbagai masalah sosial, seperti premanisme.

“Biaya yang dikeluarkan untuk mengatasi masalah ini jauh lebih besar dibanding dengan biaya mencegah kurang gizi dari awal,” imbuhnya.

Dijelaskan Rizal, kasus kurang gizi pada balita umumnya berawal dari bayi yang terlahir stunting atau bayi berat badan lahir rendah (BBLR), yakni kurang dari 2,5 kg.


Kondisi Bayi Saat Lahir Dipengaruhi Kondisi Ibu Selama Hamil

Ilustraasi foto Liputan 6

Terkait hal ini, Rizal membeberkan upaya nyata untuk menyelesaikan masalah ini, yakni melalui program pemberian makanan tambahan bagi ibu hamil, penanggulangan cacingan, dan pemberian zat besi dan folat.

"1000 HPK dimulai dari saat konsepsi atau kehamilan hingga anak berusia 2 tahun. Program ini sudah sangat bagus dan harapannya semoga bisa semakin merata dirasakan oleh ibu-ibu hamil di seluruh Indonesia," papar Rizal.

Di samping itu, kata dia, dibutuhkan juga kerja sama yang baik dari berbagai pihak. Hal ini penting karena gizi merupakan masalah yang saling berkaitan antara satu lembaga dengan lembaga lain.

“Gizi bukan hanya dibebankan pada satu lembaga saja,” tuturnya.

Seorang anak Papua yang menderita kekurangan gizi terbaring di tempat tidur rumah sakit untuk mendapat perawatan di Agats, Asmat, provinsi Papua Barat (26/1). (AFP/Bay Ismoyo)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya