Liputan6.com, Jakarta - Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) melaporkan realisasi investasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA) sepanjang 2017 menembus angka Rp 692,8 triliun. Capaian ini melampaui target investasi yang sebesar Rp 678,8 triliun.
Kepala BKPM Thomas Lembong mengatakan capaian realisasi investasi tersebut memberikan harapan dan optimisme untuk dapat mencapai target realisasi investasi pada 2018 yang telah ditetapkan oleh pemerintah sebesar Rp 765,0 triliun.
"Dalam rangka mempercepat realisasi investasi proyek-proyek PMA dan PMDN, di berbagai kementerian terkait, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota telah dibentuk Satuan Tugas (Satgas) sebagai implementasi Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2017 tentang Percepatan Pelaksanaan Berusaha, yang berfungsi antara lain akan membantu mencari solusi permasalahan yang dihadapi oleh investor dalam merealisasikan investasinya," ujar dia di Kantor BKPM, Jakarta, Selasa (30/1/2018).
Baca Juga
Advertisement
Dari realisasi investasi sebesar Rp 692,8 triliun, berdasarkan lima besar lokasi proyek antara lain DKI Jakarta sebesar Rp 108,6 triliun, (15,7 persen); Jawa Barat sebesar Rp 107,1 triliun, (15,5 persen); Jawa Timur sebesar Rp 66,0 triliun (9,5 persen); Banten sebesar Rp 55,8 triliun (8,1 persen); dan Jawa Tengah sebesar Rp 51,5 triliun (7,4 persen).
Berdasarkan sektor usaha, 5 besar realisasi investasi adalah: Listrik, Gas dan Air sebesar Rp 82,1 triliun (11,8 persen; Pertambangan sebesar Rp 79,1 triliun (11,4 persen); lndustri Makanan sebesar Rp 64,8 triliun (9,4 persen), lndustri Logam, Mesin, dan Elektronik sebesar Rp 64,3 triliun (9,3 persen), dan Transportasi, Gudang, dan Telekomunikasi sebesar Rp 59,8 triliun (8,6 persen).
Sedangkan realisasi investasi PMA berdasarkan 5 besar asal negara adalah Singapura sebesar US$ 8,4 miliar (26,2 persen); Jepang sebesar US$ 5,0 miliar (15,5 persen); China sebesar US$ 3,4 miliar, (10,4 persen); Hong Kong sebesar US$ 2,1 miliar, (6,6 persen); dan Korea Selatan sebesar US$20 miliar (6,3 persen).
Menurut dia, pada kuartal IV 2017, realisasi investasi baik PMDN maupun PMA mencapai Rp 179,6 triliun. Dari angka tersebut, realisasi PMDN sebesar Rp 67,6 triliun, naik 16,4 persen dari Rp 58,1 triliun pada periode yang sama di 2016. Sedangkan PMA sebesar Rp 112 triliun, naik 10,6 persen dari Rp 101,3 triliun pada periode yang sama tahun 2016.
BKPM juga mencatat, realisasi investasi PMDN dan PMA berdasarkan 5 besar lokasi proyek antara lain DKI Jakarta sebesar Rp 33,9 triliun (18 persen), Jawa Barat sebesar Rp 24,1 triliun (13,4 persen), Jawa Tengah sebesar Rp 18,5 triliun (10,3 persen), Jawa Timur sebesar Rp 16,3 triliun (9,1 persen) dan Banten sebesar Rp 13,9 triliun (7,8 persen)
Realisasi investasi berdasarkan 5 besar sektor usaha antara lain Listrik, Gas dan Air sebesar Rp 24,3 triliun (13,6 persen); Transportasi, Gudang dan Telekomunikasi sebesar Rp 22,6 triliun (12,6 persen); Industri Makanan sebesar Rp 17,4 triliun (9,7 persen), Pertambangan sebesar Rp 16,4 triliun (9,1 persen), dan Tanaman Pangan dan Perkebunan sebesar Rp 14,6 triliun (8,1 persen).
Sedangkan untuk 5 besar negara asal PMA antara lain Singapura sebesar US$ 2,3 miliar (27,8 persen); Jepang sebesar US$ 1,0 miliar (11,9 persen); Hongkong sebesar US$ 0,8 miliar (9 persen); Korea Selatan sebesar US$ 0,7 miliar (7,9 persen) dan China US$ 0,6 miliar (7,5 persen).
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
RI Jadi Tujuan Favorit Investasi di Sektor Industri
Sebelumnya, Indonesia masih menjadi negara tujuan investasi bagi para pelaku industri luar negeri yang ingin menanamkan modalnya untuk perluasan usaha. Selain didukung dengan potensi pasar yang besar, Indonesia telah memiliki beberapa struktur industri yang dalam sehingga rantai pasok bisa berjalan baik.
"Apalagi pemerintah Indonesia tengah fokus menciptakan iklim investasi yang kondusif dengan berbagai langkah strategis, antara lain menerbitkan paket kebijakan ekonomi untuk mempermudah pelaku industri menjalankan usahanya di Tanah Air," kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto ketika melakukan kunjungan kerja di PT Yogya Presisi Teknikatama (YPTI), Yogyakarta, Selasa 14 November 2017.
Berdasarkan laporan tahunan yang dirilis Bank Dunia terkait peringkat Ease of Doing Business (EoDB) 2018, peringkat kemudahan berusaha Indonesia di 2018 secara keseluruhan naik 19 peringkat dari posisi ke-91 menjadi posisi 72 dari 190 negara yang disurvei. Pada EoDB 2017, posisi Indonesia juga meningkat 15 peringkat dari 106 menjadi 91. Tercatat dalam dua tahun terakhir, posisi Indonesia telah naik 34 peringkat.
Airlangga yakin, kenaikan peringkat ini akan mendorong para pelaku industri untuk meningkatkan investasinya di Indonesia.
"Saat ini kami sedang kejar agar bisa terealisasi dari beberapa sektor industri yang telah berkomitmen tambah investasi, antara lain industri petrokimia, otomotif dan elektronika," ujarnya. Dalam dua tahun ke depan, total nilai investasi tersebut mencapai US$ 1,7 miliar.
Sementara itu, Kementerian Perindustrian mencatat, ada sekitar US$ 1,2 miliar investasi di sektor manufaktur yang tengah direalisasikan. Beberapa investasi tersebut, di antaranya dari industri pulp dan kertas di Riau dan Sulawesi Selatan, serta industri turunan baja di Konawe, Sulawesi Tenggara, yang diharapkan bisa selesai tahun depan.
Airlangga mencontohkan, para investor Jepang mengaku puas berinvestasi dan tertarik untuk melakukan ekspansi di Indonesia. Pernyataan ini didapat ketika Menperin melakukan kunjungan kerja ke Negeri Sakura dalam sebuah forum bisnis yang dihadiri ratusan pengusaha Jepang, beberapa waktu lalu.
"Berdasarkan testimoni mereka, Indonesia tetap menjadi negara tujuan investasi karena memberikan hasil hingga 60 persen," ucapnya.
Salah satu program pemerintah Indonesia yang saat ini dinilai menjadi daya tarik bagi para investor, yaitu pengembangan kompetensi sumber daya manusia (SDM) industri melalui program pendidikan dan pelatihan vokasi.
“Karena kunci pertumbuhan industri adalah investasi, teknologi, dan SDM. Untuk itu, Kemenperin sedang gencar membangun sistem link and match antara Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dengan industri,” tuturnya.
Advertisement