Jokowi: Ekspor RI Jauh Tertinggal dari Malaysia dan Thailand

Presiden Jokowi menuturkan, kegiatan ekspor yang tidak berubah akan sebabkan Indonesia bisa kalah dengan negara lain yaitu Kamboja dan Laos.

oleh Septian Deny diperbarui 31 Jan 2018, 12:41 WIB
Presiden Joko Widodo berbincang dengan Menteri Perekoniman, Darmin Nastion dan Mendag Enggartiasto Lukita saat rapat kerja Kementerian Perdagangan (Kemendag) 2018 di Istana Negara, Jakarta, Rabu (31/1). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan ekspor Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan ASEAN. Bahkan kini ekspor Vietnam telah mengalahkan Indonesia.

Jokowi mengungkapkan, nilai ekspor Thailand telah mencapai US$ 231 miliar, kemudian susul Malaysia sebesar US$ 184 miliar dan Vietnam US$ 160 miliar. Sedangkan nilai ekspor Indonesia saat ini baru sekitar US$ 145 miliar.

"Coba lihat Thailand, ini angka ekspor 2016-2017. US$ 231 miliar ini Thailand. Malaysia US$ 184 miliar, Vietnam US$ 160 miliar, kita US$ 145 miliar. Ini fakta, negara sebesar kita ini kalah dengan Thailand yang penduduknya 68 juta, Malaysia 31 juta penduduknya, Vietnam 92 juta, dengan resource, dengan SDM yang sangat besar kita kalah," ujar dia di Istana Negara, Jakarta (31/1/2018).

Melihat angka-angka tersebut, Jokowi mengatakan ada yang salah dengan aktivitas ekpor yang selama ini dijalankan oleh Indonesia. Sebab dengan jumlah penduduk yang besar harusnya Indonesia bisa menghasilkan lebih banyak produk yang bisa diekspor ke negara lain.

"Ini ada yang keliru, ini yang harus diubah. Kalah dengan Thailand penduduknya 68 juta penduduk bisa ekspor US$ 231 miliar, Malaysia US$ 184 miliar, Vietnam juga sama, baru beberapa tahun merdeka bisa ekspor US$ 160 miliar. Ini perlu saya ulang-ulang supaya kita sadar ada yang keliru dan banyak yang keliru. Yang rutinitas kita lakukan bertahun-tahun tanpa ada perubahan apapun," jelas dia.

Jika rutinitas yang terkait dengan kegiatan ekspor ini terus dibiarkan dan tidak diubah menjadi lebih baik dan efektif, maka Indonesia akan tertinggal dari negara-negara antara lain Laos dan Kamboja.

"Oleh sebab itu Kementerian Perdagangan sangat berperan sekali terutama di satu hal tadi, ekspor. Tapi yang sangat jelas, kalau kita lihat angka-angka ekspor Indonesia sudah sangat kalah jauh tertinggal dengan negara-negara sekitar kita. Ini fakta dan angka itu ada. Dengan Thailand, dengan Malaysia, dengan Vietnam, kalah kita. Kalau kita terus-terusan seperti ini bisa kita kalah dengan Kamboja dan Laos," ujar dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 


Neraca Dagang RI Surplus US$ 11,8 M pada 2017

Suasana bongkar muat di Jakarta International Contener Terminal (JICT),Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (16/11). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor Oktober mencapai US$ 15,09 miliar. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan neraca perdagangan Indonesia pada Desember 2017 mengalami defisit US$ 270 juta. Adapun secara kumulatif sepanjang Januari-Desember 2017, Indonesia mencetak surplus perdagangan US$ 11,84 miliar.

Kepala BPS, Suhariyanto, atau yang akrab disapa Kecuk mengungkapkan, ‎nilai ekspor Indonesia pada Desember 2017 tercatat sebesar US$ 14,79 miliar atau turun 3,45 persen dibanding realisasi November 2017.‎

"Penyebabnya karena terjadi penurunan nilai ekspor nonmigas 5,41 persen menjadi US$ 13,28 miliar dibanding November 2017 yang sebesar US$ 14,04 miliar," ujar ‎Kecuk saat Rilis Neraca Perdagangan Desember 2017 di kantornya, Jakarta, Senin 15 Januari 2018.

Adapun penurunan nilai ekspor barang-barang yang mengakibatkan ekspor nonmigas terseret ke bawah, antara lain lemak dan minyak hewan atau nabati US$ 119,5 juta, mesin dan peralatan listrik US$ 127,4 juta, mesin-mesin atau pesawat mekanik US$ 131,7 juta, kendaraan dan bagiannya US$ 165,7 juta, serta perhiasan atau permata US$ 205,2 juta.

Namun, ekspor migas mengalami kenaikan 17,96 persen dari US$ 1,28 miliar di November 2017 menjadi US$ 1,51 miliar pada Desember 2017.

Dibanding Desember 2016 yang sebesar US$ 13,83 miliar, nilai ekspor di Desember 2017 yang sebesar US$ 14,79 miliar ini naik‎ 6,93 persen.

Realisasi nilai ekspor pada akhir tahun lalu lebih rendah dibanding realisasi impor yang sebesar US$ 15,06 miliar. Nilai impor ini turun tipis 0,29 persen dibanding realisasi bulan sebelumnya.

"Penurunan‎ terjadi karena impor nonmigas khususnya bahan baku/penolong merosot 3,05 persen dari US$ 12,90 miliar di November 2017 menjadi US$ 12,51 miliar di Desember 2017," ia menerangkan.

Sementara itu, impor migas pada Desember lalu naik 15,89 persen dari US$ 2,20 miliar di November 2017 menjadi US$ 2,55 miliar di Desember 2017.

Dibanding realisasi Desember 2016 yang sebesar US$ 12,78 miliar, nilai impor di akhir 2017 ini naik signifikan sebesar 17,83 persen.

"Jadi neraca perdagangan di Desember 2017 defisit US$ 270 juta. Ini adalah defisit kedua di sepanjang tahun lalu karena defisit pertama terjadi di Juli 2017 sebesar US$ 270 juta " ujarnya.

Jika dirinci, Kecuk mengatakan, defisit US$ 270 juta di Desember 2017 berasal dari surplus nonmigas yang mencapai US$ 774,7 juta, sementara neraca dagang minyak dan gas (migas) masih defisit lebih besar sebesar US$ 1,0‎4 miliar.

Secara kumulatif pada Januari-Desember 2017, surplus neraca perdagangan tercatat sebesar US$ 11,84 miliar. Dengan realisasi nilai ekspor US$ 168,7 miliar, naik 16,22 persen dibanding capaian periode sama 2016 sebesar US$ 145,2 miliar.

Nilai ekspor kumulatif lebih tinggi dibanding nilai impor US$ 156,89 miliar pada Januari-Desember 2017 atau naik 15,66 persen dibanding periode yang sama 2016 sebesar US$ 135,65 miliar.

Surplus US$ 11,84 miliar sepanjang tahun lalu ditopang dari surplus neraca perdagangan nonmigas sebesar US$ 20,41 miliar, sementara migas masih defisit US$ 8,57 miliar.

"Surplus neraca dagang di 2017 sebesar US$ 11,84 miliar paling tinggi sejak 2013. Pada 2013, terjadi defisit US$ 4,08 miliar, US$ 2,20 miliar di 2014, pada 2015 mengalami surplus sebesar US$ 7,67 juta, dan pada 2016 surplus US$ 9,53 juta," ujar Kecuk.

‎Dia berharap, surplus neraca perdagangan pada 2018 lebih besar lagi. "Tapi memang kita harus hati-hati dengan kenaikan harga minyak dunia karena pemangkasan produksi minyak oleh OPEC dan Rusia," tandasnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya