Liputan6.com, Moskow - Satu-satunya warga Rusia di Korea Utara harus menempuh perjalanan sekitar 200 kilometer untuk menggunakan hak suaranya pada pilpres mendatang.
Vladimir Li adalah satu-satunya warga Rusia yang tinggal di Korea Utara. Sebagaimana yang dilaporkan Kedutaan Besar Rusia di sana, sebuah tempat pemungutan suara (TPS) akan dibuka khusus untuk Li pada 18 Maret 2018, hari pemilihan Presiden Rusia.
Dikutip dari laman RBTH Indonesia, Kamis (1/2/2018), Li lahir pada awal 1950-an di Kamchatka, Rusia (saat itu masih Uni Soviet).
Baca Juga
Advertisement
Ayahnya, seorang warga Korea Utara, menikahi ibunya, seorang perempuan Rusia, saat tengah melakukan perjalanan bisnis. Setelah tugasnya selesai, sang ayah membawa seluruh keluarganya kembali ke Wonsan di Korea Utara, tempat Li dibesarkan.
Setelah kematian suaminya, ibu Li pindah ke Rusia. Namun demikian, Li tetap tinggal di Korea Utara dan jatuh cinta dengan seorang aktris teater lokal.
Ketika anak-anak mereka tumbuh besar, mereka pergi ke Rusia untuk belajar dan tinggal bersama nenek mereka, tapi Li sekali lagi tetap tinggal di Korea Utara.
Ia memutuskan melanjutkan hidupnya di sana dan mempertahankan kewarganegaraan Rusianya.
Li selalu memberikan hak suaranya ketika pemilihan umum Rusia. Untuk itu, ia harus menempuh perjalanan sekitar 200 km dari Wonsan, kota tempat tinggalnya, ke Pyongyang, tempat kedutaan berada.
Aina Gamzatova, Muslimah Penantang Putin di Pilpres Rusia
Namanya asing dalam kandidat Pemilu Rusia 2018. Media lokal pun belum ada yang memberitakan mengenai sosoknya. Namun, muslimah ini masuk dalam daftar calon presiden Rusia 2018. Ia maju "menantang" Vladimir Putin yang juga mencalonkan kembali.
Aina Gamzatova, seorang muslimah berusia 46 tahun dari Dagestan, mengumumkan bahwa dia resmi terjun ke dalam Pemilu Rusia pada Maret 2018 sebagai calon presiden. Lalu, siapa sebenarnya sosok Gamzatova?
Mengutip Al Jazeera, Gamzatova merupakan pemimpin Islam.ru, sebuah media muslim terbesar di Rusia yang terdiri dari televisi, radio, dan gerai cetak. Gamzatova juga diketahui sering menulis buku tentang Islam dan melakukan kegiatan amal.
Gamzatova menikah dua kali. Suami pertamanya merupakan pemimpin muslim, Said Muhammad Abubakarov, yang meninggal karena dibunuh dalam sebuah ledakan mobil pada 1998. Hingga kini, pelakunya belum ditemukan.
Akan tetapi, dia secara terbuka mengecam Wahabi, istilah yang sering digunakan Gamzatova untuk menggambarkan militan yang ingin dia lumpuhkan.
Dalam buku dan beberapa pidatonya, Gamzatova menyebut Wahabi sebagai kaum yang haus darah dan bermuka dua. Mereka terus-menerus mengincar tokoh-tokoh sufi di Dagestan--dan afiliasinya--untuk dibunuh.
Kini, ia telah menikah kembali dengan Akhmad Abdulaev, seorang mufti Dagestan, meski Gamzatova sendiri merupakan seorang sufi.
Pencalonan Gamzatova menjadi topik hangat di kalangan komunitas muslim Rusia. Beberapa orang mengatakan bahwa dia seharusnya tidak melangkah keluar dari bayangan kelam masa lalunya. Meski demikian, banyak juga yang mendukung tekadnya.
"Dia cukup berani untuk menggunakan hak hukumnya, yang diberikan kepada setiap warga negara Rusia, mencalonkan diri sebagai presiden. Dia cukup berani untuk menjalankan sebuah kampanye pemilu yang layak," kata Aisha Anastasiya Korchagina, seorang etnis Rusia yang masuk Islam dan bekerja sebagai psikolog di Moskow.
Beberapa orang melihat kampanye Gamzatova sebagai cara untuk meningkatkan citra wanita muslim di Rusia. Terlebih, kampanye itu dianggap sebagai penarik perhatian karena Dagestan dikenal miskin, berpenduduk padat, dan multietnis.
"Bahkan jika dia kalah, orang akan tahu bahwa seorang gadis berjilbab tak hanya berperan sebagai seorang ibu atau wanita saja, tapi dia juga bisa berpendidikan, menjadi bijaksana dan dihormati," ungkap mantan juara Olimpiade tinju dan Wakil Menteri Olahraga Dagestan, Gaidarbek Gaidarbekov, melalui akun Instagramnya.
Advertisement